Liputan6.com, Solo - Keraton Kasunanan Surakarta menggelar ritual tahunan sekaten untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Prosesi tersebut diawali dengan mengeluarkan sepasang gamelan dari dalam istana keraton menuju Masjid Agung Solo, Sabtu, 2 November 2019.
Puluhan abdi dalem dengan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan samir tampak memikul sejumlah perangkat gamelan. Iring-iringan para abdi dalem itu terbagi dalam dua kelompok, paling depan merupakan pembawa perangkat gamelan Kiai Guntur Madu, sedangkan di belakangnya pembawa perangkat gamelan Kiai Guntur Sari. Semua perangkat gamelan itu ditutup kain mori putih.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Prosesi pemindahan gamelan atau yang disebut miyosaken kagungan dalem gamelan sekaten itu dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah keluar dari dalam istana keraton, iring-iringan pengantar gamelan gamelan pusaka keraton itu berjalan ke arah utara melalui Kori Kamandungan dan Pagelaran Keraton Surakarta. Kemudian, setibanya di Alun-alun utara terus berbelok ke barat menuju Masjid Agung.
Ketika semua perangkat gamelan tiba di masjid, gamelan Kiai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Pradonggo di sisi selatan, sedangkan gamelan Kiai Guntur Sari diletakkan di Bangsal Pragonggo yang terletak di sisi utara. Kedua bangsal yang menjadi ‘panggung’ gamelan itu terletak di halaman depan Masjid Agung.
Tabuhan Gamelan
Setelah prosesi boyongan selesai, para abdi dalem pun tampak menata semua perangkat gamelan di masing-masing bangsal. Bakda zuhur, prosesi dilanjutkan dengan kehadiran utusan Raja Paku Buwono XIII Hangabehi, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta KGPH Dipokusumo bersama abdi dalem menuju Masjid Agung. Kehadiran rombongan tersebut disambut oleh KRT Pengulu Tafsir Anom Pujodipuro.
Sebelum gamelan ditabuh, dilakukan prosesi upacara di masjid dengan pembacaan sejarah sekaten yang bertalian erat dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Setelah itu dilakukan pembacaan doa oleh KRT Pengulu Tafsir Anom Pujodipuro. Prosesi di masjid selesai, utusaan raja dan para abdi dalem menuju Bangsal Pradonggo untuk menyampaikan dawuh dalem Sinuhun Paku Buwono XIII untuk membunyikan gemaln sekaten.
Sekitar pukul 14.00 WIB, tabuhan gamelan Kiai Guntur Maduh dimulai. Perangkat gamelan bonang merupakan yang pertama kali ditabuh untuk menandai dimulainya sekaten. Selanjutnya, para penabuh gamelan memainkan gending Ladrang Rambu untuk membuka perayaan sekaten itu. Para abdi dalem wiyaga tampak khidmat dan menghayati setiap pukulan masing-masing perangkat gamelan.
Permainan gamelan itu dilakukan secara bergantian antara gamelan Kiai Guntur Madu dan gamelan Kiai Guntur Sari. Setiap harinya gamelan tersebut dimainkan mulai pulul 10.00 hingga pukul 23.00 WIB. Hanya saja setiap kali memasuki jadwal salat wajib seperti Zuhur, Asar, Magrib dan Isya permainan gamelan itu berhenti untuk istirahat.
Advertisement
Rayahan Janur Bertuah
Begitu gamelan ditabuh, pengunjung yang memadati sekitar Bangsal Pradonggo langsung berebut melepas janur kuning yang terpasang di bangsal tempat gamelan Kiai Guntur Madu dimainkkan. Mereka percaya jika janur itu memiliki tuah sehingga banyak warga yang membawanya pulang untuk dijadikan sebagai keberuntungan.
Salah satu warga asal Sukoharjo, Marini mengaku mendatangi acara sekaten untuk ikut menyaksikan penabuhan gamelan sebagai tandai dimulainya sekaten. Dalam momen itu, ia selalu ikut rebutan janur begitu gamelan tersebut ditabuh.
"Setiap tahun kalau sekaten selalu ke sini. Ini tadi saya bersyukur bisa dapat janur saat rebutan," kata dia.
Bagi Marini, janur yang terpasang di Bangsal Pradonggo itu cukup spesial karena dipercaya memiliki tuah. Alhasil, janur itu akan dibawa ke sawah miliknya agar setiap saat masa tanam padi bisa menghasilkan panen yang bagus.
"Ambil janur ini biar dapat berkah. Ya berkahnya keraton. Rencana janur ini mau dibawa untut sarat menanam padi agar bisa panen banyak," harapnya.
simak video pilihan berikut:
Sejarah Sekaten
Sementara itu Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta KGPH Dipo Kusumo mengatakan sekaten merupakan tata cara upacara Keraton Surakarta Hadiningrat dalam rangka menghormati Maulid Nabi Muhammad SAW.
"Sekaten ini untuk memperingati hari kelahiran, milad atau Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW," kata dia di Masjid Agung Solo, Sabtu, 2 November 2019.
Menurut Dipo, gamelan sekaten ini juga juga berfungsi sebagai alat penyebaran agama Islam di Jawa pada masa lalu. Pasalnya, masyarakat pada saat itu sangat menggemari mendengarkan alunan gamelan sehingga Sunan Kalijaga memanfaatkan gamelan itu sebagai alat untuk syiar agama Islam.
"Ide dasar menggunakan gamelan sebagai alat syiar Islam itu merupakan pemikiran dari Kanjeng Sunan Kali Jaga," ucapnya.
Permainan gamelan pada acara sekaten memang dilakukan di komplek masjid. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang ingin menyaksikan gamelan sekaten harus melakoni syarat belajar atau membaca kalimat syahadat untuk masuk Islam. Metode syiar itu pun dilanjutkan di Keraton Kasunanan Surakarta pada waktu itu. Bahkan, di komplek bangunan Masjid Agung Surakarta juga terdapat tembok kalimasada di sisi utara.
"Kalau di Surakarta ini di sebelah utara Masjid Agung ini ada tembok kalimasada. Tembok kalimasada yaitu tempat para warga masyarakat yang ingin masuk ke masjid mendengarkan gamelan sekaten diajari bagaimana membaca kalimat syahadat pada waktu itu,” ungkapnya.
Gamelan sekaten itu akan ditabuh sampai hari peringatan Maulid nabi Muhammad SAW yang jatuh pada Sabtu, 9 November 2019 mendatang. Acara sekaten akan diakhiri dengan upacara kirab gunungan yang selanjutnya dirayah oleh warga dan para abdi dalem.
Advertisement
Kinang Sekaten
Perayaan sekaten memang sangat identik dengan keberadaan pedagang kinang yang terlihat bertebaran di dekat Bangsal Pradonggo dan Pragonggo. Kinang yang terdiri dari daun sirih, injet, gambir, tembakau dan kembang kanthil.
KRT Pengulu Tafsir Anom Pujodipuro menjelaskan bahwa kinang pada waktu itu telah menjadi konsumsi masyarakat yang lazim di Jawa. Hanya saja oleh Wali Sanga kinang sekaten yang terdiri dari lima unsur itu dimabil makna filosofinya bahwa Islam terdiri dari lima unsur pokok meliputi, syahadat, saat puasa, zakat dan haji.
“Kinang itu terdiri dari daun sirih. Daun sirih itu dua sisi yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan, artinya antara syahadat tauhid dan syahadat rasul itu harus sama. Itu makna syahadat,” kata dia.
Selain daun sirih, menurut dia unsur kinang lainnya seperti injet dan gambir memiliki rasa yang pahit, namun jika dikonsumsi semua justru menimbulkan rasa yang enak. Lantas Pujodipuro pun mencoba menggambarkan bahwa syahadat merupakan komitmen yang dibangunnya begitu susah, ditambah pula dengan salat dan puasa yang juga berat. Hanya saja jika rukun Islam itu secara dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka keislamannya akan menjadi baik.
“Ini kan lucu karena tiga unsur sirih, inje dan gmbir itu pahit semua ketika dikonsumsi bersama tidak pahit. Artinya apa, ketika kita mampu melaksanakan syahadat, salat dan puasa, walaupun sepahit-pahitnya kita laksanan secara totalitas itu akan menjadi baik. Kita menjadi manusia ini keislaman kita menjadi baik lah,” jelasnya.