Liputan6.com, Malaka - Potret kemiskinan masih terlihat di Tanah Air. Seperti kehidupan keluarga Miguel Noronya, warga Dusun Wemalae (Tubaki), Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, NTT.
Keluarga ini, satu dari sekian banyak keluarga yang tinggal di sebuah gubuk yang tidak layak huni. Miguel adalah buruh tani dan mantan pejuang merah putih di Timor Timur.
Saat Timor Timur lepas dari NKRI, Miguel rela meninggalkan seluruh harta serta keluarganya dan memilih Indonesia sebagai negaranya. Ia tidak mempunyai lahan sendiri untuk digarap. Tanah yang digarap selama ini adalah milik Dinas Kehutanan Provinsi NTT.
Advertisement
Baca Juga
Selain dijadikan kebun, di lahan itu juga Miguel membangun sebuah gubuk reyot sebagai rumah bagi istrinya, Fransiska da Silva (40) dan ketujuh anaknya.
"Saya petani miskin yang hanya bisa mencari makan untuk anak istri saya. Selebihnya saya tidak mampu lagi. Bahkan kebutuhan lainnya saya belum bisa sanggupi," keluh Miguel kepada wartawan, Senin, 4 November 2019.
Meski hidup dalam kemiskinan, Miguel bersama keluarganya tidak pernah mendapat bantuan sosial dari desa maupun pemkab Malaka. Bahkan, ia mengaku, sudah dua kali didata pemerintah desa sebagai keluarga miskin yang menerima bantuan, tetapi hingga kini, Miguel tak pernah merasakan bantuan apa pun.
"Sudah dua kali mereka ambil data, sampai foto-foto rumah tetapi sampai pergantian kepala desa juga saya tidak mendapat bantuan," katanya.
Untuk bertahan hidup, sehari-hari, Miguel bersama isterinya mengolah hasil kebun untuk dijual ke pasar. Dari hasil jualan yang tak seberapa itu, ia menyisihkan untuk membiayai sekolah ke empat anaknya. Sementara tiga anaknya yang belum umur sekolah, setiap hari membantu orangtuanya di kebun.
Â
Harapan untuk Sang Anak
Lantaran tidak mempunyai biaya, anak Miguel bernama, Julio Noronya (14) dan Margadida Noronya (12) gagal menerima komuni pertama sebagai sakramen kedua dalam ajaran gereja Katolik.
Dua kakak beradik ini bersekolah di SDI Harekakae, masuk dalam wilayah Paroki Kamanasa, Keuskupan Atambua, NTT. Menurut ibu mereka, Fransiska da Silva, syarat untuk bisa menerima komuni pertama adalah wajib mengumpulkan uang Rp250.000 per anak calon penerima komuni pertama.
Hal ini sangat berat bagi mereka karena kondisi ekonomi yang sangat lemah. Bagaimana tidak, kedua anak mereka yang sudah memenuhi syarat secara umur untuk menerima komuni pertama, harus menyumbangkan Rp500 ribu untuk gereja.
"Kami orangtua dibebani per anak Rp 250 ribu sebagai syarat untuk ikut sambut baru (komuni pertama). Saat itu, kami tidak punya uang. Anak saya dua orang yang mau ikut, berarti harus kumpul 500 ribu. Uang dengan jumlah begitu, bagi kami sangat berat. Kami makan saja susah," ujar Fransiska.
Menurut dia, uang sumbangan itu diminta oleh gereja melalui guru agama kedua anaknya di sekolah. Ia juga mengaku tidak tahu aliran dana itu untuk apa. Hanya baginya, biaya itu sangat berat bagi mereka yang hidupnya dililit kemiskinan.
"Katanya 200 ribu untuk gereja dan sisanya untuk biaya beli air mineral di sekolah. Saya tidak tahu uang derma itu untuk apa kegunaannya. Kita disuruh kumpul saja untuk gereja. Saya pribadi tidak mempersoalkan itu, hanya memang saya dalam keadaan tidak sanggup saat itu," tambahnya.
Ia berharap ada kebijakan lain dari pihak gereja agar kedua anaknya bisa menerima komuni pertama. "Semoga tahun depan mereka bisa terima komuni pertama," dia berharap.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement