Liputan6.com, Aceh - Kursi peserta di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas 1A tampak penuh, Senin siang (23/12/2019). Yang hadir rata-rata mahasiswa sebuah kampus negeri serta pegiat organisasi nonpemerintah.
Beberapa di antaranya tampak meriung di gili-gili yang ada di luar ruangan, sebagian lagi memencar, berkelompok, menunggu persidangan selesai. Kedatangan orang-orang ini bukan sekadar untuk memberi dukungan moral kepada Saiful Mahdi, sang terdakwa, namun, juga sebagai jelma resistansi terhadap nalar akademik yang dianggap tidak lagi bertolak dari tataran diskursif dalam menyelesaikan suatu masalah.
Baca Juga
Kampus yang notabene merupakan lokomotif bagi perubahan via pelbagai diskursus 'kritis' para civitas academica dianggap telah bersulih rupa. Segala yang berbau kritik tak boleh lagi lestari, mesti diberangus, dengan 'pasal defamasi' dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai senjatanya.
Advertisement
Saiful Mahdi adalah dosen statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) universitas kesohor di Aceh. Ia tersangkut masalah hukum setelah kritikan yang dilempar di dua grup WhatsApp internal diperkarakan oleh koleganya.
Isi unggahan Mahdi pada Maret 2019 berupa kalimat sentilan yang memang tak eufemistis, atas dasar dugaan tak ada unsur meritokrasi dalam perekrutan tenaga pengajar (CPNS) di fakultas teknik (FT). Tidak hanya hantam kromo, kritikan Mahdi itu berdasarkan perhitungan-perhitungan yang sarat bertepas.
Dalam tes, ikut serta seorang dosen nonpegawai yang mengajar lebih kurang 2 tahun di FT Industri. Saat tahapan tes objektif, —Tes Kemampuan Dasar (TKD)— dosen berinisial T muncul sebagai peserta dengan nilai tertinggi tingkat fakultas dan kedua tingkat universitas, namun, setelah mengikuti tahapan subjektif, ia dinyatakan tidak lulus.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?"
"Gong Xi Fat Cai!!!"
"Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen."
"Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi." Begitu bunyi unggahan yang terbagi atas empat bagian.
Sang pelapor ialah Taufik Saidi, dekan dari fakultas yang disasar oleh lulusan Corneel dan Vermont. Oleh Taufik, tudingan Mahdi diklaim tidak berdasar, dalihnya, perekrutan yang dimaksud berada di bawah wewenang kementerian bukan fakultas.
"Pak Saiful Mahdi salah menuduh dan tanpa bukti. Komisi etik merekomendasi ke rektor supaya yang bersangkutan meminta maaf, khilaf," terang Saidi, kepada Liputan6.com, September.
Soal rekom komisi etik yang dimaksud Saidi, dalam salinan 'pendapat hukum' diterima Liputan6.com, kuasa hukum Mahdi menjelaskan bahwa sidang etik yang digembor-gemborkan sama sekali tidak pernah dilakukan. Agenda panggilan Komisi F senat universitas pada Maret hanya klarifikasi belaka.
Segendang sepenarian dengan para pihak yang kontra dengan Mahdi, Rektor Universitas Syah Kuala, Samsul Rizal, menindaklanjuti masalah ini dengan melayangkan surat kepada yang bersangkutan. Mahdi disuruh minta maaf dalam waktu 1x24 jam, jika tak ingin dikenai sanksi.
Surat tersebut dibalas satu pekan kemudian dengan tembusan Menristekdikti, yang isinya prinsipiel dan tegas, menolak meminta maaf. Saidi pun melapor ke polisi karena sejawatnya dinilai tidak punya iktikad, hingga Mahdi jadi tersangka sejak akhir Agustus, sementara, keganjilan yang mengganjal di benaknya tak pernah terjawab.
Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean Centre (ICAIOS) itu telah 2 kali mengikuti persidangan, masing-masing beragenda mendengar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 17 Desember, dan eksepsi via kuasa hukum pada 23 Desember. Sidang selanjutnya akan berlangsung pada akhir bulan.
Pada sidang perdana, JPU, Fitriani dan Devi Safliana, mengungkapkan fakta-fakta bahwa Mahdi telah melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE. Obyek yang dimaksud jaksa tentu saja fakultas tehnik, yang dipimpin Saidi.
Nota Keberatan
Dalam sidang diketuai Ainal Mardiah, kuasa hukum Mahdi ialah tiga advokat dari YLBHI-LBH Banda Aceh. Ketiganya, Desi Amelia Brampu, Khairul Ayyami, dan Murtadha.
Surat dakwaan JPU dianggap tidak memenuhi syarat materil, tidak disusun dengan cermat, jelas, dan lengkap. Alasaannya antara lain, JPU abai terhadap SE Kejagung No. B-1179/E/EJP/07/2008 tentang Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam hal ini, tidak pernah meminta keterangan ahli dari Kominfo dalam penanganan perkara dan penetapan alat bukti perkara tersebut (a quo).
Selain itu, JPU tidak mengurai secara utuh dan benar soal bagaimana Saidi yang bukan anggota dari grup WhatsApp tempat Mahdi menyampaikan kritik —yang notabene tertutup— bisa tahu tentang unggahan tersebut.
Terlepas dari nota keberatan, bagi sebagian orang, kasus yang menyeret Mahdi ke kursi pesakitan dinilai sebagai wujud 'kematian bagi mimbar di bidang akademik.' Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebutnya 'contoh kongkret' pelanggaran hak asasi di ranah akademik dan merupakan kriminalisasi.
“Keputusan Universitas Syiah Kuala yang membiarkan terjadinya kriminalisasi terhadap Saiful Mahdi merupakan wajah kelam dunia akademik," kata Hamid, dalam keterangan pers, diterima Liputan6.com, September.
Pihak kampus pun dimintanya merehabilitasi nama baik yang bersangkutan. Alasan Hamid, ahli bidang statistika itu telah menjalani proses hukum yang semestinya tidak dijalani.
"Otoritas kampus harus menerbitkan aturan internal yang bisa menjamin suara-suara kritis dan kebebasan berekspresi agar tidak dibungkam di masa yang akan datang," imbuh Hamid.
Advertisement