Menemukan Paulo Freire di Bivak Emperom Aceh

Sebuah komunitas seniman di Aceh mengadakan diskusi tentang pendidikan yang menohok bertema "SakaratusSchool", simak buah pikir para seniman kritis di negeri syariat.

oleh Rino Abonita diperbarui 12 Jan 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 12 Jan 2020, 14:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Prima facie, memasuki mulut lorong itu akan terlihat tulisan "Art KKB", "Nyak Diwan" serta "Art & Culture", dalam fon yang lebih kecil. Tulisan tersebut menampang di dinding kanan sebuah ruko bersama garis-garis hitam yang meliuk, membentuk pola satiris, manifesto buah pikir si pemegang kuas.

Mural-mural serupa terdapat hampir di semua bidang yang dapat ditemui di rumah yang ada di ujung lorong pinggiran Jalan Cut Nyak Dien, Kota Banda Aceh. Rata-rata mural di tempat itu beraliran dada dan kubis, serta surealis.

Sejumlah pemuda sore itu, Sabtu (11/1/2019), memilih berkumpul di pekarangan rumah yang diapit rumah toko dan balai milik Pemerintah Aceh. Orang-orang menyebutnya "Bivak Emperom", pangkalan para seniman yang tergabung dalam Komunitas Kanot Bu.

Saat itu sedang ada diskusi, sebagai pembekalan pengaryaan yang akan digelar keesokan harinya. 'SakaratusSchool', demikian tajuk yang diangkat dalam diskusi tersebut, merujuk institusi pendidikan yang dinilai telah menggali kuburannya sendiri.

Para seniman ini mengklaim institusi pendidikan ada sekadar untuk status quo belaka, selaku institusi yang melembaga sejak baheula, namun, gagal berdiri sebagai wadah bagi praktik pembebasan. Bahkan berperan dalam memperpanjang siklus "penindasan."

Liputan6.com merangkum pernyataan ketiga pembicara dalam diskusi yang dimoderatori oleh guru bernama Fatma Susanti. Fatma sendiri pernah diajak berdiskusi oleh menteri pendidikan pada 2015 karena soal ujian tak lazim yang pernah dibuatnya viral.

Belajar dengan Cengengesan

Diskusi di Komunitas Kanot Bu (Liputan6.com/Rino Abonita)
Diskusi di Komunitas Kanot Bu (Liputan6.com/Rino Abonita)

Lelaki gondrong yang dipanggil Dedy Besi itu sesungguhnya seorang arkeolog dan mantan anak punk di masa mudanya. Penabalan kata "besi" merujuk pada pernak-pernak seperti paku atau aksesoris liyan yang melekat di baju, identitas seorang punkers yang dulu sering dipakainya.

Bagi Dedy, jika pendidikan adalah seni, mestinya ia seperti lukisan manusia prasejarah yang ada di gua-gua, bertahan sepanjang masa, kendati dibuat di waktu dan tempat seperti itu.

"Pendidikan harus punya dampak yang tak pernah mati," ia menegaskan.

Namun, bersebab metode pembelajaran yang salah, posisi peserta didik saat ini tak ubah reseptor yang naif jika tidak disebut "benda mati." Dari sinilah siklus yang korup itu dimulai.

"Institusi pendidikan membuat orang-orang jadi pintar. Kepintaran tidak selalu berbanding lurus dengan hal-hal baik yang kita inginkan," kata pembicara selanjutnya, Aulianda Wafisa, juga mantan punkers yang kini bergabung dalam band metal "Delirium" di samping jadi pegiat di YLBHI-LBH Banda Aceh.

Ia berharap institusi pendidikan kelak jadi ruang yang merdeka. Sebuah ruang yang bebas dari segala determinisme dogma yang sekadar meletakkan murid sebagai "botol kosong" sehingga perlu dicekcoki pelbagai doktrin "prestasi", sementara, nilai-nilai liyan seperti kemanusiaan dikesampingkan.

"Agar dipandang lebih oleh orang lain, oleh orang yang tidak berpendidikan."

Menurut Aulianda, intensi-intensi semacam itu telah mendorong orang berlomba-lomba mengejar titel akademis yang prestisius belaka, namun, teralienasi dari pelbagai masalah sosial. Dengan kalimat liyan, institusi pendidikan tidak lagi mencetak manusia-manusia sensitif tapi para hipokrit.

Di antara ketiga pembicara, hanya Idrus yang tak gondrong dan pernah menjadi guru abdi. Sebagai guru, perupa bernama pena Marxause menerapkan metode belajar yang berbeda.

Idrus mengizinkan murid-muridnya membawa mainan dan boleh memainkannya pada jam-jam menjelang pulang sekolah. Ia juga pernah memukul rata nilai mata pelajaran di rapor murid-muridnya karena merasa muak dengan sistem nilai yang menurutnya tidak adil dan hanya melahirkan sekat serta pribadi-pribadi yang semakin tidak percaya diri.

"Standarnya (jangan, red) harus yang bikin mereka tidak stres," kata Idrus.

Freirean

Tutup tangki air fiber di Komunitas Kanot Bu (Liputan6.com/Rino Abonita)
Tutup tangki air fiber di Komunitas Kanot Bu (Liputan6.com/Rino Abonita)

Apa yang diuraikan oleh ketiga pembicara tentunya tak apokromatik. Siapa saja boleh mencecar pernyataan-pernyataan tersebut, tapi, orang-orang kritis ini nyatanya tak sendiri, Paulo Freire bersama mereka.

Salah satu tokoh pendidikan Brazil yang diakui karena kontribusinya di dunia pendidikan dengan karya adiluhung "Pedagogy of the Opressed" itu menekankan pendekatan kultural dan proses dialogis dalam metode belajar mengajar.

Idealnya, pendidikan tidak menempatkan peserta didik sebagai objek investasi dan sumber deposito potensial. Sementara, guru bersulih jadi depositor dan investor, perwakilan lembaga kemasyarakatan yang berkuasa, di mana depositonya tak liyan ialah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dalam kacamata freire, pendidikan yang disebutnya berkonsep "bank" hanya bertugas mereproduksi ideologi kelas dominan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Apa lacur, murid bak ”bejana kosong” yang akan diisi pelbagai pengetahuan sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan.

"Guru adalah subjek aktif, murid sebaliknya." Sebagai objek pasif, murid harus menjadi penurut, bertugas sebagai mesin penghapal.

Kondisi ini telah melahirkan orang-orang yang tidak lagi sadar akan realitas yang ada di sekelilingnya. Pada taraf tertentu, terciptalah dehumanisasi pendidikan, sehingga, pendidikan tak lebih dari menjadi usaha sadar sistematis yang melanggengkan hegemoni kelompok sosial tertentu atas kelompok sosial liyan.

Institusi pendidikan yogianya memakai metode pendekatan kultural dan proses dialogis, di mana relasi objek - subjek antara peserta didik dengan tenaga pendidik yang berlaku lazim selama ini mesti diretas, agar pendidikan kembali kepada fitrahnya sebagai wadah dari praktik pembebasan.

Metode ini tentu saja tidak berarti menyampingkan nilai-nilai etika terlebih membenarkan laku tak pantas murid kepada guru selaku orang yang sering disebut "orang tua kedua." Baik Freire maupun ketiga pembicara di Komunitas Kanot Bu sore itu hanya ingin peserta didik muncul sebagai manusia yang diberi ruang dialog secara merdeka, belajar dan sadar akan realitas, kelak hidup sesuai kodrat dan takdirnya sebagai apapun yang telah digariskan Tuhan, bukan yang dipaksa-paksakan.

"Kau suka menendang bola! Jadilah pemain sepak bola! Atau, jadilah apapun menurut hatimu!" demikian yang diucap oleh Viru Sahastrebuddhe dalam film Three Idiots saat cucunya lahir, sementara, Farhan Qureshi, sang narator bersiap-siap hendak mengutuk andai si virus mengatakan bahwa cucunya mesti jadi insinyur seperti dirinya kelak.

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya