Louis Braille Permudah Anak Tunanetra Kejar Mimpi Melalui Pendidikan

Hari Braille Internasional ditetapkan PBB pada 4 Januari 2019. Pemilihan tanggal 4 bertepatan dengan hari kelahiran penemu huruf Braille, Louis Braille.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Jan 2020, 12:12 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2020, 12:12 WIB
Mengintip Produksi Al Quran Braille untuk Penyandang Tunanetra
Santri penyandang tunanetra membaca Al Quran Braille di Yayasan Raudlatul Makfufin, Tangerang Selatan, Kamis (24/5). Yayasan yang berdiri sejak tahun 1983 ini memproduksi Al Quran Braille sebanyak 60 buku setiap harinya. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta Hari Braille Internasional ditetapkan PBB pada 4 Januari 2019. Pemilihan tanggal 4 bertepatan dengan hari kelahiran penemu huruf Braille, Louis Braille.

Berkat Louis Braille, seluruh penyandang tunanetra di dunia dapat belajar membaca dan menulis.

“Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang, yang menjadi pondasi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan lainnya, kemampuan berbahasa baik lisan maupun tulisan; kemampuan berhitung, berlogika, hingga akhirnya termasuk kemampuan berbahasa coding,” tulis Aria Indrawati, Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Sabtu (4/1/2020).

Kini Hari Braille Internasional diperingati secara resmi oleh PBB layaknya hari-hari internasional lainnya. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh tunanetra dunia yang tergabung dalam “World Blind Union (WBU)”.

Menurut Aria, berkat jasa Louis Braille, para tunanetra dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Terlebih lagi saat ini ada dukungan teknologi adaptif yang super canggih. Sehingga  kegiatan belajar termasuk membaca dan menulis menjadi lebih mudah.

Aria memberi contoh, dulu membuat buku berhuruf Braille dilakukan secara manual, sehingga makan waktu lebih lama serta tenaga lebih banyak. Kini, dengan perkembangan teknologi komputer, membuat buku Braille dapat dilakukan dengan lebih cepat. Bahkan, dengan perkembangan teknologi, muncul varian baru bentuk buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh tunanetra, yaitu buku audio digital dan buku e-pub. Hal ini diikuti dengan penciptaan alat bantu untuk membaca kedua varian buku tersebut.

Teknologi Bukan Alasan untuk Tidak Belajar Braille

Aria berpendapat, kemajuan teknologi bukan alasan untuk anak usia sekolah tidak belajar membaca dengan Braille. Ada beberapa pendapat keliru mengenai sudah tidak berfungsinya buku Braille karena sudah adanya teknologi mutakhir untuk anak dengan tunanetra.

“Tentu saja pandangan ini keliru. Bagi tunanetra yang beragama Islam, misalnya, mereka juga harus belajar membaca Al Qur’an Braille, bukan hanya mendengarkan Al Qur’an versi audio, karena nilai membaca Al Qur’an dengan mendengarkan orang lain membaca Al Qur’an itu berbeda,” tulis Aria.

Kurangnya Tenaga Pengajar Braille

Tempat yang tepat untuk belajar membaca adalah sekolah. Namun, menurut tinjauan Aria, di Indonesia, belum semua anak tunanetra usia sekolah bersekolah. Menurut perkiraan Kementerian Pendidikan, angka partisipasi tunanetra usia sekolah di bidang pendidikan masih rendah, yaitu kurang dari 20 persen.

“Untuk itu, mari kita mengambil momentum peringatan Hari Braille Dunia 4 Januari ini, menggugah hati dan pikiran semua pihak; keluarga, orang tua, pemerintah, terutama pemerintah daerah, agar membawa anak-anak tunanetra di seluruh penjuru negeri yang belum bersekolah ke sekolah,” tulis Aria.

Kurangnya guru-guru yang mengerti huruf Braille di sekolah umum maupun SLB menjadi tantangan tersendiri. Aria berharap ada perhatian khusus terkait hal ini dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

“Anak-anak tunanetra, ayo sekolah. Bapak, ibu, orangtua, ayo, bawa anak-anak tunanetra kita ke sekolah. Pemangku peran dunia pendidikan, ayo, kita fasilitasi agar anak-anak Indonesia yang menyandang tunanetra dapat bersekolah dengan baik,” pungkas Aria.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya