Musim Hujan, Warga Klaten Waspada Penyakit Leptospirosis

Berdasarkan catatan, pada 2018 dan 2019 leptospirosis menyerang warga, bahkan menyebabkan pengidap penyakit ini meninggal dunia.

diperbarui 01 Feb 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2020, 04:00 WIB
Ilustrasi - Banjir dan genangan bisa memicu penularan Leptospirosis. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi - Banjir dan genangan bisa memicu penularan Leptospirosis. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Klaten - Dinas Kesehatan (Dinkes) Klaten mengimbau warga mewaspadai penyakit leptospirosis selama musim penghujan. Banyaknya genangan air mempermudah penularan penyakit yang disebarkan melalui urin atau darah hewan seperti tikus yang terinfeksi bakteri leptospira.

Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Klaten, Anggit Budiarto, mengatakan kasus penyakit leptospirosis bisa berujung pada kematian jika terlambat ditangani. Pada 2019, Dinkes Klaten mencatat ada 41 kasus leptospirosis dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak enam orang.

Sementara, sepanjang 2018 tercatat ada 85 kasus leptospirosis dengan 12 orang meninggal dunia. "Untuk 2020, sampai pekan ketiga Januari belum ada kasus. Mudah-mudahan tidak ada yang sampai meninggal dunia," kata Anggit saat berbincang dengan Solopos.com, Kamis (30/1/2020).

Meski belum ada kasus, Anggit tetap meminta warga tetap waspada terhadap penularan penyakit tersebut. "Selama ini leptospirosis bisa mengenai pada musim apa pun. Selagi tikus masih ada dan di sana ada air, pasti sangat memungkinkan penyebaran bakteri di daerah sana," tutur dia.

Bakteri penyebab leptospirosis bisa memasuki tubuh melalui luka terbuka pada kulit saat kontak dengan air. Gejala penyakit itu di antaranya demam, nyeri otot, meriang, hingga mata pedas.

Ketika mengalami gejala tersebut, Anggit mengimbau warga segera memeriksakan diri ke puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya. Anggit mengatakan petani lebih berisiko tertular penyakit tersebut.

Pasalnya, kulit mereka sering kontak dengan air. Selain itu, tikus kerap ditemukan bersarang di sawah hingga menjadi salah satu organisme pengganggu tanaman bagi petani.

"Kami sudah sering kali mengimbau agar sebisa mungkin kulit petani tidak langsung kontak dengan air di sawah seperti mengenakan (sepatu) bot," tutur dia.

Disinggung upaya pencegahan terhadap penyakit tersebut, Anggit mengatakan kerap mengenakan alat pelindung diri setiap kontak dengan air terutama air kotor. "Kunci utamanya itu menjaga daya tahan tubuh. Selain itu membiasakan diri untuk PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (DPKPP) Klaten, Widiyanti, mengatakan tikus menjadi salah satu organisme pengganggu tanaman yang paling dominan menyerang padi selain wereng serta penggerek batang.

Memasuki musim penghujan seperti belakangan hari ini, ditemukan banyak tikus yang menyerang lahan pertanian.

"Sudah ada upaya gropyokan tikus karena yang paling efektif untuk mengendalikan hewan tersebut agar tidak merusak tanaman selain pengendalian menggunakan burung hantu," kata Widiyanti.

 

Baca berita menarik lainnya di Solopos.

 

Akhmad Mundzirul Awwal/PNJ.

Simak Video Pilihan Berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya