Liputan6.com, Purbalingga - Dwi Nur Fauzi, warga Desa Kutasari, Kecamatan Kutasari, Purbalingga mendadak demam tinggi. Sulastri, ibunya, tak terlalu menganggap serius demam itu karena Dwi sejak kecil memang kerap mengalami demam.
Sulastri tak tahu demam yang dialami Dwi kali ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dalam hitungan hari bakal merenggut kehidupan pemuda 18 tahun itu.
Sekiranya sehat, Dwi akan berulang tahun ke-19 pada 19 Maret. Namun Dwi yang memiliki autisme tak mengungkapkan keluh kesahnya sebaik anak-anak lain yang tak memiliki autisme.
Advertisement
Baca Juga
"Dia hanya senyum," kata Sulastri.
Dwi memang dikenal sebagai anak yang ceria. Dia banyak senyum. Bukan saja ketika difoto, ketika meninggal wajahnya masih menunjukkan senyum.
"Bibirnya tertarik, seperti sedang senyum," kata dia.
Dwi sehari-hari tidak bermain dengan teman-temannya lantaran keterbatasannya. Ia biasanya bermain pasir sendiri di halaman rumah.
"Dia ndak sempat sekolah, karena sakitnya dari kecil," ujar dia, di rumanya di Purbalingga.
Penderita Autis nan Murah Senyum
Sulastri menyebut sakit sebagai kata lain dari autis yang dialami Dwi sejak kecil. Meskipun tidak bermain dengan teman sebayanya, Dwi punya teman baik, ternak peliharaan orangtuanya.
"Dia suka memberi makan kambing, dia juga suka bermain dengan burung merpati," kata dia.
Pada Senin (17/2/2020) suhu tubuh Dwi meningkat. Dwi juga muntah dan sakit kepala. Awalnya Dwi hanya dikompres. Namun hingga Selasa (18/2/2020), demamnya tak kunjung turun.
"Hari Selasa saya bawa ke dr Bambang, dokter praktik," kata dia.
Sulastri tak membawa Dwi ke Puskesmas meskipun jaraknya lebih dekat dengan dr Bambang. Sulastri mengatakan, di Puskesmas tidak bisa langsung ditangani karena harua mengambil antrean dan menunggu giliran.
"Pikiran saya Dwi sudah panas, kalau harus menunggu..," ujar Sulastri tak meneruskan kata-katanya.
Sepulang dari dokter, Dwi diberi obat. Namun kondisi Dwi sudah menurun. Ia tak mau makan nasi. Obatpun tidak.
"Saya paksa, tapi setelah masuk mulut dikeluarkan lagi," kata dia.
Pada Rabu (19/2), Sulastri membawa anak bungsunya ke bidan. Lagi-lagi bidan hanya memberi obat setelahnya. Demam berdarah sama sekali tak terdeteksi.
Advertisement
Tempurung Kelapa Pembawa Celaka
Demam Dwi tak kunjung turun hingga Sabtu (22/2). Dwi justru kencing dengan volume urine lebih banyak dari biasanya.
"Pipisnya banyak banget, saya kan tidak tahu tanda-tanda sakit demam berdarah," ujar dia.
Pada Minggu (23/2), Dwi dilarikan ke RSUD Goeteng Purbalingga. Dwi langsung masuk ke IGD. Dia langsung diinfus. Perawat juga mengambil sampel darahnya.
"Setelah diinfus napasnya tambah kenceng, megap-megap," kata Pratikno, kakak Dwi.
Dua jam setelah tiba di rumah sakit, dokter menyatakan Dwi meninggal dunia. Dari sampel darah yang diambil, Dwi mengalami demam berdarah.
Setelah tahu ada kasus demam berdarah, Puskesmas Kutasari langsung begerak. Pemberantasan sarang nyamuk yang sudah dijadwal akhirnya diajukan.
"Ditemukan banyak sarang nyamuk dari bekas kelapa yang dibelah di pekarangan warga," kata Sekdes Kutasari, Nur Fadilah.
Puskesmas Kutasari menyatakan Dwi semestinya dirawat di fasilitas kesehatan yang dilengkapi laboratorium. Dengan demikian Dwi bisa dites darahnya dan penyakitnya bisa diketahui lebih dini.
Jumat (28/2/2020), Puskesmas Kutasari menggelar pengasapan di beberapa RT. Pengasapan dilakukan kembali beberapa hari ke depan untuk membunuh nyamuk dewasa.
"Jadi pemberantasan sarang nyamuk untuk membunuh jentiknya, fogging untuk memberantas nyamuk dewasanya," kata Kepala Dinas Kesehatan Purbalingga, Hanung Wikantono.
Simak video pilihan berikut ini: