Liputan6.com, Sigi - Upaya konservasi burung endemik Sulawesi, Maleo di salah satu desa penyangga TN Lore Lindu dilakukan warga dengan bertaruh keselamatan akibat kondisi alam yang membahayakan. Upaya itu demi menyelamatkan satwa itu dari perburuan yang merusak ekosistem.
Setelah hujan Senin siang (27/7/2028), di rumahnya Azir (29 th) sedang mempersiapkan peralatan keselamatan dan kebutuhan sebelum dia menuju ke gunung. Sebuah alat pengaman tubuh yang sepintas mirip harness atlet panjat tebing, yang lusuh, di antaranya. Alat itu vital bagi dia.
Hanya dengan alat itu dia bisa ke tujuannya, penangkaran burung maleo di hutan Gunung Mbadopo, sekitar 1,5 kilometer dari permukiman Desa Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.
Advertisement
Baca Juga
Benar saja, setelah satu kilometer berjalan ke arah selatan, Azir berhenti. Dia diadang sungai selebar 60 meter berarus deras, dan harness rakitannya jadi penolong.
Di atas sungai itu, besi panjang yang berfungsi sebagai rel sudah lebih dulu dipasang warga desa menggantikan jembatan gantung yang roboh karena banjir tahun 2018 lalu. Di besi panjang itulah Azir mengaitkan harness-nya untuk menggantung dan meluncur ke seberang timur sungai.
"Tidak ada cara lain. Berenang terlalu berisiko, arus sungai deras, dalam, dan berbatu," kata Azir sebelum meluncur ke seberang dengan cepat.
Tinggal 500 meter lagi lokasi penangkaran itu dicapai. Azir menggesa langkahnya di antara batu-batu, menerobos belantara hutan yang basah itu. Dia khawatir telur dan anak maleo di kandang penangkaran dicuri hewan liar kalau dia terlambat.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Menyelamatkan Maleo dari Incaran Pemburu Telur Perusak Ekosistem
“Biawak paling suka dengan telur maleo. Hewan itu bisa masuk ke kandang dengan menggali tanah,” kata Azir.
Untungnya telur dan maleo hasil konservasinya bersama warga masih aman di kandang. Azir lalu menabur biji-biji jagung yang di bawanya sebagai pakan burung-burung itu.
Ada satu butir telur dan dua ekor anakan maleo yang sedang ditangkar oleh Azri dan warga Desa Pakuli Utara. Dia bilang, sejak mulai lagi konservasi maleo di desanya pada 2018, sampai sekarang sudah 11 telur yang menetas di penangkaran.
Sembilan di antaranya sudah dilepasliarkan. Sedangkan dua anakan lagi masih di kandang.
“Upaya penangkaran sebenarnya sudah ada sejak tahun 2005, tapi sempat terbengkalai karena banjir yang memutus jembatan gantung. Akhirnya kami mulai lagi tahun 2018,” dia bercerita.
Sekretaris Pengelola Lembaga Konservasi di Desa Pakuli Utara itu menerangkan, upaya konservasi warga muncul karena sebelumnya marak aksi pemburu telur maleo yang dihargai mahal di pasaran dibanding telur ayam biasa.
Advertisement
Kerusakan Ekosistem
Akibat penggalian tanah sembarangan, ekosistem hutan penyangga TN Lore Lindu jadi rusak, mengancam keberlangsungan hidup maleo di gunung Mbadopo.
“Biawak dan manusia sama-sama jadi ancaman telur-telur maleo. Kalau tidak dibantu perkembangannya, maleo di sini lama-lama habis,” ujar dia.
Kini untuk mengelola penangkaran itu kelompok Lembaga Konservasi di Desa Pakuli Utara juga didampingi pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.
Azri dan warga desa Pakuli Utara berencana menjadikan penangkaran itu sebagai kawasan ekowisata berbasis konservasi agar bisa memberi nilai tambah bagi warga di desanya.
“Populasi maleo di sini masih ada ratusan dengan cara ini nanti bisa lebih banyak. Ini juga berpotensi jadi objek ekowisata yang dikelola desa selain pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,” Azri berharap.