Derita Anak-Anak Besipae, Rumah Tergusur dan Dapat Skorsing dari Sekolah

Denny Sae, remaja Besipae NTT, bukanya hanya tergusur, dirinya juga harus menerima skorsing dari sekolah lantaran dianggap menentang pemerintah.

oleh Ola Keda diperbarui 28 Agu 2020, 06:47 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 00:00 WIB
Klaim lahan Besipae
Foto: Denny Sae, pelajar SMA yang diskorsing dari sekolah karena dituduh melawan pemerintah (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Air mata Denny Sae, remaja Besipae NTT, menetes deras saat menceritakan nasibnya yang harus tergusur dan terusir dari tempat tinggalnya sendiri. Saat ditemui wartawan, Kamis (20/8/2020), tangisan siswa kelas 2 SMKN 1 Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT,  itu membuat ibu-ibu yang duduk di bawah tenda ikut menangis. Suasana hening seketika. Sesekali ia mengangkat ujung baju kumalnya menyeka air mata.

Wawancara pun sempat terhenti. Kami membiarkan Denny menangis, meluapkan kesedihannya. Ia tertunduk lama. Sesaat kemudian, remaja lugu itu mengangkat wajah menantang kamera wartawan yang sedari tadi menunggunya.

"Ini tanah leluhur kami. Kenapa kami diusir," ungkap Denny dengan nada tinggi.

Denny menceritakan, setelah rumahnya digusur, ia bersama orangtuanya dan puluhan warga yang juga korban penggusuran memilih hidup di bawah tenda darurat beralaskan tanah.

Kesedihannya semakin parah saat Denny mendengar kabar bahwa dirinya mendapat skorsing dari sekolah karena dinilai melawan pemerintah. Denny merupakan satu dari puluhan anak-anak sekolah bersama orangtua mereka melakukan protes terhadap aksi penggusuran rumah warga oleh Pemprov NTT. Meski terusir dari sekolahnya, Denny masih bermimpi untuk tetap terus belajar.  

"Saya dianggap melawan kebijakan pemerintah. Saya dihukum skorsing tidak boleh sekolah lagi," ungkapnya.

Niatnya ingin melanjutkan studi agar bisa meraih masa depan, kini ia pendam. Sekolah, yang menjadi satu-satunya harapannya, telah memberi skorsing.

"Saya bingung harus sekoah kemana agar bisa menyelesaikan studi," ucapnya.

Anak-anak di Besipae saat ini masih mengalami trauma mendalam akibat bunyi tembakan aparat keamanan pada Selasa 18 Agustus 2020 lalu.

"Anak-anak masih trauma," tambah Matheda Esterina Selan, seorang warga.

Di antara warga korban penggusuran, terdapat juga bayi yang baru berusia dua bulan, tiga bulan, dan tujuh bulan serta anak-anak usia PAUD dan SD.

Tenda darurat menjadi rumah mereka. Warga terpaksa membangun beberapa gubuk seadanya dari daun lontar. Gubuk itu dibuat khusus untuk anak-anak balita agar tak terkena angin malam. Sementara orang dewasa, hanya bisa tidur di bawah tenda beratap langit.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Respons Pemprov NTT

Klaim Lahan Besipae
Foto: Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libing saat memberi keterangan pers (Liputan6.com/Ola Keda)

Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libing, membantah adanya tindakan represif aparat terhadap warga Pubabu Besipae.

"Tidak ada anarkis. Tidak ada tindakan represif dan intimidasi serta penelantaran terhadap masyarakat di Pubabu. Apa yang dilakukan aparat keamanan hanya 'shock therapy' untuk membangunkan masyarakat agar bersedia menempati rumah yang sudah dibangun pemerintah," katanya.

Menurut dia, pemerintah sudah selesai membangun rumah untuk menggantikan rumah warga yang telah digusur. Namun, karena warga bersikeras sehingga aparat sengaja menembak gas air mata ke tanah dengan tujuan agar warga bisa masuk ke rumah yang disediakan tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya