Merawat Bahasa Ibu Melalui Sastra Suara Kaum Difabel

Difalitera saat ini merupakan satu-satunya sastra yang bersifat auditif dan menggarap dengan bahasa-bahasa ibu. Setidaknya keberaniannya merintis dengan segmen kaum disabilitas.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 28 Okt 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2020, 00:00 WIB
difalitera
Suasana kelompok difalitera ketika mengubah sastra teks menjadi sastra suara. (foto: Liputan6.com/dok.difalitera/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Oktober adalah bulan bahasa dan sastra di Indonesia. Namun dari keseluruhan latar belakang penetapan sebagai bulan bahasa, posisi bahasa sebagai media pemersatu mencapai puncaknya dengan mengembalikan asal mula manusia berbahasa.Bahasa ibu menjadi kata kunci.

Sehingga pada peringatan Sumpah Pemuda 2020, Liputan6.com akan menyajikan berita-berita dengan menggunakan bahasa ibu yang hidup di Nusantara. Simak karya-karya yang tidak seperti biasanya ini di kanal Regional sepanjang hari ini.

Kita mengawali kisah dengan upaya menghidupi bahasa ibu. Upaya menghidupi ini bukan dari lembaga negara, namun justru dari sekelompok penulis yang setiap harinya berinteraksi dengan kaum difabel.

Indah Darmastuti. penulis puisi, cerpen dan novel ini mengaku mendirikan kelompok Difalitera didasari persamaan hak tiap individu untuk memperoleh pendidikan, pengetahuan, hiburan, dan informasi.

“Dan sastra adalah salah satu wilayah pemenuhan itu. Itu juga menjadi dasar pemikiran saya. Dimana diinspirasi oleh Agatha Febriany, seorang perempuan difabel netra pada sebuah acara bincang sastra yang diadakan oleh komunitas sastra Pawon Solo,” kata Indah.

Dari perbincangan terungkap bahwa kaum difabel netra sangat membutuhkan referensi audiobook terutama sastra (cerpen, puisi) terkini. Awalnya Indah mengaku tak tahu harus bagaimana memulai.

Kemudian datang seorang mahasiswa UNS yang meminta ijin untuk mengalih-wahanakan beberapa cerpenku yang terhimpun dalam buku “Makan Malam Bersama Dewi Gandari” menjadi cerpen audio. Rupanya ini menjadi jawaban kegelisahan Indah.

“Ini akan meluas. Saat dunia semakin riuh, waktu semakin mahal, sastra tetap bisa hadir dengan tenang, bersahabat dan tetap memberi sesuatu yang subtil dengan cara berbeda,” katanya.

Imajinasi Indah terus semakin liar. Membayangkan waktu membaca buku semakin sempit, dan kertas semakin langka, masyarakat masih bisa memperoleh cerita atau karya fiksi melalui audiobook.

Mereka bisa mendengar sambil menyetir mobil, memasak, atau bahkan untuk relaksasi. Sastra tetap bisa hadir dalam segala ruang dan waktu.

Audiobook itu kemudian bertransformasi menjadi Difalitera. Sebuah platform yang fokus pada literasi berbasis digital. Literasi yang inklusif.

“Mulai 2018 kami memproduksi sastra suara. Mengalihmediakan cerpen, puisi, cerita anak, pelajaran Bahasa Inggris, cerita cekak (cerita pendek berbahasa jawa) ke dalam bentuk suara. Itu belum menapak ke ranah bahasa ibu,” kata Indah.

Kerja itu bukan sebuah kerja yang menegangkan karena prinsipnya adalah bersenang-senang saja. Seperti karya seni pada umumnya, seperti buku, lukisan, musik yang ditawarkan kepada publik. Hanya latar belakang, visi dan misi  yang berbeda. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Produksi Sastra Suara Bahasa Ibu


Diawaki Dalam dan Luar Negeri

difalitera
Indah Darmastuti, penggagas difalitera yang berpotensi menjadi penjaga eksistensi bahasa ibu melalui sastra suara. (foto: Liputan6.com/dok.indah darmastuti/edhie prayitno ige)

Sejak diluncurkan web www.difalitera.org pada 10 November 2018, Difalitera sudah mengaudiokan sekitar 300an karya (cerpen, puisi, cerita anak, cerita pendek berbahasa Jawa) karya penulis Indonesia dari angkatan 80an (para penulis zaman Majalah Anita Cemerlang) hingga penulis generasi milenial. Difalitera memutuskan mengaudiokan penulis era lama ya karena mereka adalah bagian dari sejarah perjalanan sastra Indonesia. Penuturnya juga penulisnya sendiri.

Difalitera mengundang para penulis dan penutur untuk berkontribusi, termasuk kaum disabilitas daksa maupun netra. Awalmya, difalitera hanya sanggup mengaudiokan teks pendek, dan belum sanggup menggarap novel yang lebih rumit dan menguras energi.

Baru pada 2020 Indah dan komunitasnya merealisasi bentuk kerjasama dengan InterSastra yang diinisiasi oleh Eliza Vitri bersama tim. Mereka mengaudiokan karya sastra yang sudah diterbitkan di InterSastra dalam edisi dwibahasa.

Difalitera sendiri hanya dikelola oleh 4 orang tim inti. Indah Darmastuti sebagai Koordinator (founder, Solo), Endah Fitiana (Editor-ilustraror, Purwodadi) Liston P. Siregar (editor-illustrator, London), Sonsky Mahardika (admin web, Solo).

Namun tim itu tak bekerja sendirian. Selalu saja ada relawan yang hadir membantu. Sedangkan untuk penutur jumlahnya sangat banyak. Rencananya akan menggunakan penutur tetap. Mereka terdiri dai Noer Admaja, Astuti Parengkuh, Yessita Dewi, Luna Kharisma dan Ilona Joline.

Indah bercerita bahwa ia mendapat pesan suara dari salah satu voluntir difalitera di Gowa (Sulawesi Selatan). Namanya Daeng Maliq. Awalnya Daeng hanya penikmat biasa, kemudian tergerak untuk mendistribusikan sastra suara kepada kaum disabilitas lain.

“Lalu ada respon bahwa difalitera sangat kental aroma jawa. Saat itu ada yang bertanya, ‘Kak, sepertinya web ini dikerjakan oleh orang Jawa ya? Karena di situ ada folder khusus cerita berbahasa Jawa.’. Ini kemudian menjadi seperti slilit yang mengganggu. Persoalan bahasa itu bukan receh dan remeh,” kata Indah.

 


Menuju Sastra Suara Bahasa Ibu

difalitera
Suasana kelompok difalitera ketika mengubah sastra teks menjadi sastra suara. (foto: Liputan6.com/dok.difalitera/edhie prayitno ige)

Indah mengaku pernah menawarkan kepada kaum disabilitas dengan menyebut bahwa mereka bisa membuat cerita dengan bahasa Batak atau Sunda atau lainnya. Difalitera bukan hanya menggarap Jawa.

Apalagi kaum disabilitas memang tersebar di seluruh nusantara. Difalitera harus adil kepada sahabat-sahabat se-nusantara. Sastra tidak boleh Jawa sentris. Difalitera harus memberi kesempatan pada daerah lain untuk mengenalkan bahasanya kepada dunia. 

Indah kemudian berkoordinasi dengan Endah Fitriana. Kerepotan Endah pasti meningkat ketika harus mengurus banyak sekali Bahasa Nusantara.

“Saya mulai mencari kontributor dari berbagai daerah dengan memanfaatkan jaringan. Fakta menunjukkan  bahwa banyak penutur bahasa ibu tetapi mereka bukan penulis. Sedangkan para penulis banyak tak paham bahasa suku. Pusing aku,” kata Indah.

Jalan keluarnya adalah berkolaborasi agar mereka menulis cerita dalam Bahasa Indonesia baru kemudian diterjemahkan dalam bahasa ibu.

Persoalan lain muncul. Ketika cerita itu harus disuarakan, para relawan di daerah kesulitan dengan alat, dan keberanian membaca-rekam itu.

“Dengan alat rekam seadanya, mereka membaca dan hasilnya cukup bagus. Memang ada suara ayam jago yang nyelonong, ada suara motor, ada suara tangis bocah. Semua malah menjadi alami,” kata Indah.

Pada tahap awal dibantu Daeng Maliq difalitera sukses menghimpun 38 cerita berbahasa daerah dari berbagai pulau di Nusantara (Sumatra, Bali, NTT, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua). Proses mengalihkan ke suara sedang dalam proses.

Kosa kata Nusantara ternyata menjadi teror. Jumlah bahasa di Nusantara amat sangat banyak. Dari Papua saja sekitar 267 bahasa, dan difalitera baru berhasil mendapatkan 3 bahasa saja.

“Itu pun masih proses mencari penerjemah. Belum di pulau-pulau lain,” kata Indah.

Yang dikerjakan (didapatkan) difalitera ini sungguh sangat kecil dan masih sangat jauh untuk mencapai bahkan hanya separonya. Mulai mengerjakan pada Juli 2020 dan akan terus mengupayakan pelan-pelan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya