Blak-blakan 2 Ajudan Nurdin Abdullah terkait Setoran Uang Pelicin dari Kontraktor

Muhammad Salman Natsir mengatakan dirinya saat itu dihubungi oleh Nurdin Abdullah untuk segera bertemu di rumah pribadi Nurdin Abdullah yang berlokasi di Perumahan Dosen Unhas di Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

oleh Eka Hakim diperbarui 04 Jun 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2021, 10:00 WIB
JPU KPK hadirkan dua mantan ajudan Nurdin Abdullah dalam sidang dugaan suap yang jerat Agung Sucipto (Liputan6.com/ Eka Hakim)
JPU KPK hadirkan dua mantan ajudan Nurdin Abdullah dalam sidang dugaan suap yang jerat Agung Sucipto (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar Dua mantan ajudan Gubernur Sulsel non-aktif Nurdin Abdullah, Muhammad Salman Nasir dan Syamsul Bahri akhirnya "bernyanyi" dalam persidangan tindak pidana korupsi dugaan suap proyek lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) yang digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar, Kamis (3/6/2021).

Sidang perkara tipikor dugaan suap proyek lingkup Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020-2021 tersebut mendudukkan Agung Sucipto, kontraktor asal Kabupaten Bulukumba sebagai terdakwa.

Di dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Ibrahim Palino, dua orang mantan ajudan Nurdin Abdullah yang dihadirkan sebagai saksi tersebut membeberkan sejumlah fakta tentang adanya penyetoran uang pelicin oleh beberapa kontraktor kepada Nurdin Abdullah sepanjang tahun 2020-2021.

Uang tersebut diduga sebagai pelicin untuk mendapatkan pekerjaan proyek di lingkup Pemprov Sulsel.

Muhammad Salman Natsir mengatakan dirinya saat itu dihubungi oleh Nurdin Abdullah untuk segera bertemu di rumah pribadi Nurdin Abdullah yang berlokasi di Perumahan Dosen Unhas di Kecamatan Tamalanrea, Makassar. Saat itu hari Minggu sekitar pukul 07.00 Wita.

Setibanya di rumah pribadi Nurdin Abdullah, Salman yang berstatus anggota Polri itu langsung menemui Nurdin Abdullah sekaligus menerima perintah dari Nurdin Abdullah untuk menghubungi mantan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (Barjas) Pemprov Sulsel, Sari Pudjiastuti mengambil titipan.

Salman lalu menghubungi Sari yang mana saat itu posisi Sari berada di Hotel The Rinra Makassar.

"Bu Sari katakan ada di Hotel Rinra, jadi saya lalu ke sana menemuinya," ucap Salman di dalam persidangan.

Setelah bertemu di hotel yang berlokasi di Jalan Metro Tanjung Bunga, Makassar itu, Mereka kemudian menumpangi mobil yang dikendarai Salman bergeser ke kawasan Apartemen Vida View Makassar yang berlokasi di Kecamatan Panakukang, Makassar.

"Setiba kami di Vida View, tak lama datang mobil berwarna hitam dan langsung memindahkan koper berwarna kuning yang dibawanya ke mobil saya dan setelah itu dia pergi," terang Salman.

Selanjutnya, Salman mengantar kembali Sari menuju ke Hotel The Rinra Makassar. Setelah Sari turun dari mobil dan masuk kembali ke hotel, Salman kemudian meninggalkan hotel dan menuju ke Bank Mandiri Cabang Panakkukang, Makassar.

Di sana, ia menemui Kepala Cabang Bank Mandiri Panakkukang, Ardi sekalian menyerahkan koper kuning yang berisi uang sesuai arahan Nurdin Abdullah.

"Sudah ada Pak Ardi menunggu karena sebelumnya sudah berkomunikasi dengan Bapak. Koper saya serahkan ke Pak Ardi dan langsung diserahkan ke teller (kasir)," jelas Salman.

Nilai uang dalam koper kuning tersebut, kata dia, kurang Rp1.600.000 jumlahnya Rp1 miliar. Ia ketahui setelah uang tersebut telah dihitung oleh Teller Bank Mandiri Cabang Panakkukang, Makassar.

"Jadi saya laporkan kembali ke Bu Sari jika uang yang ada dalam koper tidak cukup Rp1 M tapi kurang Rp1,6 juta dan Bu Sari minta ke saya untuk tutupi dulu kurangnya," tutur Salman.

Salman lalu menarik uang pribadinya dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk menggenapkan jumlah uang yang ada dalam koper tersebut menjadi Rp1 miliar sesuai permintaan Sari.

"Uang saya sudah digantikan oleh Bu Sari dan saya juga diberi tambahan Rp10 juta. Saya sempat bilang uang yang diberikan sudah sangat lebih," kata Salman

Usai menyerahkan koper berisi uang Rp1 miliar tersebut ke Bank Mandiri Cabang Panakkukang, Makassar, Salman lalu menyampaikan perintah Nurdin Abdullah kepada Ardi, Kepala Cabang Bank Mandiri Panakkukang itu.

Dalam perintahnya, Nurdin Abdullah meminta uang baru sebesar Rp800 juta. Namun, karena Bank Mandiri Cabang Panakkukang tidak memiliki uang baru sebesar itu, sehingga Salman hanya diberi uang senilai Rp400 juta.

"Saya lalu melaporkan ke bapak dan uang baru yang dibungkus kantong plastik hitam dari Bank Mandiri itu saya bawa ke ruangan kerja bapak di Rujab Gubernur. Setelah itu saya bergeser ke rumah pribadi bapak," ujar Salman.

Salman lalu menemui Nurdin Abdullah di rumah pribadinya di Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea, Makassar dan kemudian bersama-sama kembali ke Rujab Gubernur Sulsel.

"Setiba di rujab, bapak (Nurdin Abdullah) suruh saya untuk kembali ke Bank Mandiri Cabang Panakkukang mengambil uang baru lagi senilai Rp400 juta. Itu uang baru yang kedua. Dan uangnya saya langsung bawa lagi ke ruangan kerja bapak di rujab," terang Salman.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kontraktor Penyetor Uang Pelicin

Dua mantan ajudan Nurdin Abdullah sebut sejumlah kontraktor penyetor uang pelicin untuk mendapatkan proyek (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Dua mantan ajudan Nurdin Abdullah sebut sejumlah kontraktor penyetor uang pelicin untuk mendapatkan proyek (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Berbeda dengan Salman, mantan ajudan Nurdin Abdullah lainnya, Syamsul Bahri yang turut dihadirkan memberikan kesaksian di persidangan Agung Sucipto tampak lebih spesifik menyebutkan adanya transaksi penyetoran uang oleh sejumlah kontraktor ternama di Sulsel kepada Nurdin Abdullah untuk mendapatkan pekerjaan proyek di lingkup Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020-2021.

"Yang saya tahu ada beberapa kontraktor. Ada Robert, Haeruddin, Fery Tandiadi dan H Momo (Nurwadi bin Pakki)," kata Syamsul.

Syamsul menemui para kontraktor tersebut untuk menjemput titipan uang sesuai perintah Nurdin Abdullah.

"Mereka sebelumnya telah berkomunikasi dengan Nurdin Abdullah. Saya lalu diperintahkan setelahnya itu menemui mereka masing-masing," ucap Syamsul.

Kalau Robert, Syamsul mengaku menemuinya di samping Rujab Gubernur Sulsel sesuai intruksi Nurdin Abdullah.

"Robert lalu serahkan uang yang dikemas dalam kardus. Nilainya saya tidak tahu," kata Syamsul.

Uang dari Robert tersebut, Syamsul lalu bawa ke rujab dan menaruhnya di bawah ranjang tidur Nurdin Abdullah.

"Uang dari Robert saya laporkan ke bapak dan saya disuruh taruh ke bawah ranjang bapak di rujab," jelas Syamsul.

Kronologi atau proses penjemputan uang setoran dari kontraktor hingga diserahkan ke Nurdin Abdullah hampir sama semuanya. Hanya saja kata Syamsul, tempat penjemputannya yang berbeda.

"Kalau Haeruddin itu saya temui di rumahnya di Villa Mutiara seingat saya Januari 2021. Uang dari Haeruddin dikemas dalam kardus. Nilainya taksirannya itu Rp1 miliar," terang Syamsul.

Demikian juga dari Fery Tandiadi, prosesnya sama. Syamsul menemui Fery di rumahnya dan Fery mengatakan jika dirinya sudah bertemu dengan Nurdin Abdullah sebelumnya dan disuruh menyerahkan titipan.

"Bapak suruh temui Fery Tandiadi untuk ambil titipan. Titipan yang dikemas dalam kardus itu kata bapak nilainya Rp2,2 miliar. Uang saya lalu bawa ke Rujab," lanjut Syamsul.

Kemudian titipan dari H Momo, kata Syamsul, dikemas dalam amplop. Syamsul menemui H Momo di rumahnya.

"Saya kurang tahu berapa jumlahnya dalam amplop. Amplopnya ukurannya sedang. Uang dari H Momo saya serahkan ke bapak," jelas Syamsul.

Selain mengungkapkan proses pertemuan hingga pengambilan titipan uang dari sejumlah kontraktor untuk Nurdin Abdullah, Syamsul juga menjelaskan tentang pengelolaan anggaran operasional Gubernur Sulsel non-aktif tersebut. Di mana dalam per bulan, Nurdin Abdullah menghabiskan anggaran untuk membiayai operasionalnya sebesar Rp200 juta.

"Saya yang kelola anggaran operasional Pak Gubernur. Saya biasa diberi dalam bentuk gelondongan tergantung kegiatannya. Semuanya saya laporkan," kata Syamsul.

Saat ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mengenai laporan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran operasional Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah yang dikelolanya, Syamsul mengaku hanya mencatat biasa seluruh kegiatan serta penggunaan anggarannya.

"Tapi semuanya saya tetap laporkan ke Pak Gubernur," Syamsul menandaskan.

Agenda pemeriksaan saksi dalam perkara tipikor dugaan suap proyek di lingkup Pemprov Sulsel tahun anggaran 2020-2021 yang mendudukkan Agung Sucipto sebagai terdakwa berlangsung di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar.

Selain dua orang anggota Polri yang merupakan mantan ajudan Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah yakni Muhammad Salman Natsir dan Syamsul Bahri, JPU KPK turut menghadirkan Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel Prof Rudi Djamaluddin, dan mantan Kepala Bidang Bina Marga Provinsi Sulsel Eddy Jaya Putra sebagai saksi.

 

Pandangan Akademisi

Dosen Fakultas Hukum UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina SH. MH (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Dosen Fakultas Hukum UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina SH. MH (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, Jermias Rarsina mengatakan, jika berdasar pada fakta persidangan atau keterangan saksi dari mantan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Sulsel, Sari Pudjiastuti sebelumnya, di mana telah menerangkan bahwa saksi diperintahkan secara khusus untuk memenangkan perusahaan milik terdakwa Agung Sucipto yang berhubungan dengan proyek pembangunan infrastruktur ruas jalan Palampang - Munte - Botolempangan di Kabupaten Sinjai sebagai proyek pesanan dari Gubernur Sulsel saat itu, Nurdin Abdullah, maka secara hukum kedudukan tanggung jawab pidana dari saksi Sari dikendalikan oleh (di bawah kendali) Nurdin Abdullah.

Cara dugaan tindak pidana atau kejahatan dilakukan sesuai fakta keterangan saksi Sari di persidangan yaitu bahwa jauh hari sebelum Pokja ada dan tender dilakukan saksi Sari telah diperintahkan untuk proyek tersebut dipercayakan kepada terdakwa Agung Sucipto.

"Inilah yang disebut persekongkolan atau pemufakatan jahat yang dalam perspektif tindak pidana korupsi sebagai perbuatan kolusi," kata Jermias.

Cara kejahatan dilakukan dalam hukum pidana bagi orang yang mengendalikan, kata dia, disebut sebagai Manus Domina atau intelektual dader (doen pleger) dalam kategori yang menyuruh melakukan, sedangkan orang yang dikendalikan (di bawah kendali) dalam hal ini orang yang disuruh melakukan/pleger .

"Tidak bisa kita pungkiri bahwa kejahatan jabatan dalam hubungan antara atasan/ pimpinan dan bawahan umumnya sulit untuk dihindari akan hal seperti itu dalam konteks kasus korupsi," ucap Jermias.

Dalam perspektif kejahatan korupsi yang keterkaitannya dengan menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan, kata dia, umumnya pelaku kejahatannya tidak tunggal atau lazimnya sering disebut korupsi berjamaah (lebih dari seorang).

Namun pandangan hukum apa pun dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan kontraktor untuk dapat terkait satu sama lainnya, maka minimal, menurut Jermias, dapat melokalisir 4 hal pokok yang dijadikan sebagai dasar berpikir tanggung jawab pidana kepada terdakwaAgung Sucipto dkk.

Empat hal pokok yang dimaksud, kata Jermias, meliputi apakah dalam melakukan dugaan kejahatan korupsi mereka saling kontak fisik, apakah ada kerja sama satu sama lainnya, mereka menginsafi atau menyadari perbuatan yang hendak dilakukan dan tujuan yang diinginkan mereka tercapai atau tercapainya delik/ kejahatan.

Keterangan saksi Sari di persidangan sebelumnya, kata Jermias, telah memberikan penegasan hukum bahwa dia dikendalikan sebagai orang yang diperintah dari Nurdin Abdullah yang adalah Manus Domina atau orang yang mengendalikannya.

"Itu terpenuhi unsurnya pada perbuatan Nurdin Abdullah yang memerintahkan secara khusus kepada saksi Sari untuk percayakan proyek kepada terdakwa Agung Sucipto sebagaimana keterangan saksi Sari di persidangan jika memang demikian," jelas Jermias.

Perbuatan deliknya, lanjut dia, semakin tajam lagi karena pesanan proyek tersebut jauh hari sudah dirancang dengan pemufakatan jahat yang diartikan kerja sama antara Nurdin Abdullah, saksiSari dan terdakwa Agung Sucipto. Karena ternyata telah ada pertemuan pembahasan lebih dahulu di rumah pribadi Nurdin Abdullah, padahal sama sekali belum ada panitia Pokja dan proyeknya belum ditender atau lelang.

"Fakta tersebut menunjukkan bahwasanya terdapat perbuatan kontak fisik dan saling kerja sama untuk tujuan tertentu yang hendak dicapai," kata Jermias.

Di sisi lain tanggung jawab pidana yang berkaitan dengan perbuatan menginsafi atau menyadari perbuatan, lanjut Jermias, tidaklah terlepas dari kemampuan bertanggung jawab secara pikiran dan sikap batin yang mereka (terdakwa Agung Sucipto dkk) miliki, sehingga mereka dapat memahami tentang perbuatan memberi dan menerima suap dan/atau gratifikasi itu adalah perbuatan salah atau dilarang oleh hukum atau peraturan perundang-undangan.

"Dalam sidang terungkap bahwa ada sejumlah dana/uang yang ditemukan sebagai barang bukti (BB) merupakan tujuan tercapainya delik. Itu terbukti proyek pesanan yang dikerjakan oleh terdakwa Agung Sucipto dan beberapa kontraktor lainnya di mana mereka telah mengembalikan sejumlah uang yang terkait dengan delik suap dan/ atau gratifikasi," terang Jermias.

Gambaran opini hukum di atas, kata Jermias, akan menjadi kata kunci dari pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa Agung Sucipto dkk. Pemeriksaan perkara pidana terdakwa Agung Sucipto sangat menentukan peran tanggung jawab pidana Nurdin Abdullah.

Dari segi teknis pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP), saksi Sari selaku saksi kunci bagi peran dari Nurdin Abdullah dan telah membuka tabir kejahatan persengkokolan jahat dugaan terjadinya tindak pidana korupsi suap dan/atau gratifikasi dalam mengerjakan proyek negara menyebutkan Gubernur Nurdin Abdullah yang mengendalikannya. Tafsiran penilaian hukumnya, kata dia, terlihat atau tergambar dari perbuatan memerintahkan sebagai perbuatan mengendalikan.

"Bisa kita bayangkan saja cara mengendalikan melalui perintah khusus dengan sebuah rancangan memperoleh pengerjaan proyek yang belum ada sama sekali dan begitu pula panitia Pokja pun untuk kegiatan tender/ lelang dalam proyek tersebut juga belum ada," tutur Jermias.

Segala rancangan telah dipersiapkan lebih dahulu untuk terdakwa Agung Sucipto agar memenangkan proyek tersebut.

"Di sinilah interest point hukumnya untuk kita dapat membuat penilaian tanggung jawab pidana akan perbuatan dari Terdakwa Agung Sucipto, Nurdin Abdullah dkk," jelas Jermias.

Jika dalam berbagai persidangan untuk perkara terdakwa Agung Sucipto terungkap lagi keterangan saksi lainnya lebihutuh dan sempurna, baik itu dari keterangan anggota Pokja dan parakontraktor yang mengerjakan proyek bahkan mungkin ada alat bukti lainnya yang saling mendukung dengan keterangan saksi Sari, maka secara hukum menjadi tantangan yang berat bagi Nurdin Abdullah untuk keluar dari sisi tanggung jawab pidana yang sedang dialaminnya sekarang ini.

"Kita beri kesempatan babak persidangan selanjutnya bagi Nurdin Abdullah untuk tetap membela dirinya pada dugaan kasus tindak pidana yang menimpahnya sekarang ini sebagai apresiasi dari menjunjung tinggi azas Presumtion of Innocence," ujar Jermias.

Meskipun demikian adanya, kata Jermias, juga harus disadari bahwa pemeriksaan perkara pidana terdakwa Agung Sucipto sangat menentukan terlibat tidaknya Nurdin Abdullah sebagai tanggung jawab pidana dalam dugaan kasus korupsi yang sedang menimpah dirinya.

"Kita tunggu babak baru lagi untuk pengamatan hukum selanjutnya dari persidangan berikutnya," Jermias menandaskan.

 

Dakwaan JPU KPK

Diketahui dalam dakwaan JPU KPK yang telah dibacakan pada sidang awal, di mana perbuatan terdakwa, Agung Sucipto yang diketahui sebagai pemilik PT. Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba itu didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Selain itu, ia juga turut didakwa dengan dakwaan kedua yakni Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Agung Sucipto awalnya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Februari lalu. Ia ditangkap bersama Gubernur Sulsel non-aktif Nurdin Abdullah dan Sekretaris PUPR Sulsel Edy Rahmat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya