Hari Dokter Nasional Diperingati Setiap 24 Oktober, Simak Sejarahnya Berikut

Hari ini, 24 Oktober 2022 diperingati sebagai Hari Dokter Nasional.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 24 Okt 2022, 11:10 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2022, 10:37 WIB
Lebih Dekat dengan STOVIA, Tempat Belajar Calon Dokter Indonesia
Hari Kebangkitan Nasional semestinya bukan hanya dirayakan seremonial semata.

Liputan6.com, Bandung - Hari ini, 24 Oktober 2022 diperingati sebagai Hari Dokter Nasional. Peringatan Hari Dokter Nasional setiap tahunnya dirayakan oleh rekan-rekan dokter di Indonesia.

Momen ini identik dengan hari jadi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di mana pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.

Untuk merayakan Hari Dokter Nasional, biasanya para dokter memperingatinya dengan mengadakan serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan dan kedokteran, seperti pengobatan gratis, senam sehat, konsultasi kesehatan gratis, dan berbagai jenis kegiatan lainnya.

Perjalanan dokter di Indonesia yang paling diingat dan tercatat dalam buku sejarah adalah ketika dokter Wahidin Sudirohusodo berkeliling ke berbagai kota di Jawa. Namun, dokter Wahidin tidak sekadar menjalankan profesinya, ia juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Setelah itu, banyak dokter di Nusantara selama penjajahan mulai bergabung dalam sebuah wadah untuk mencerdasakan kaum bumiputra, salah satunya adalah Boedi Oetomo.

Terlepas dari itu, dulunya profesi dokter di Indonesia bermula sejak zaman Kolonial Belanda. Pihak Belanda menghadirkan pendidikan dokter untuk bisa menghasilkan seorang dokter yang bisa menangani suatu penyakit.

Ketika itu, wabah malaria begitu hebatnya melanda penduduk di Nusantara. Sekolah pendidikan dokter yang dikenal pada masa itu bernama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA. Hasilnya, siswa yang telah lulus mendapat gelar ‘Dokter Djawa’.

Sekolah ini pun terbuka untuk orang bumiputera. Dalam pekerjaannya, seorang ‘Dokter Djawa’ umumnya sebatas menjadi mantri cacar.

Mereka memberikan pelayanan kepada seseorang yang terkena penyakit cacar dan penyakit tak berbahaya lainnya. Kelak, para dokter itu pun berkumpul menjadi suatu ikatan tersendiri.

Berdasarkan laman promkes.kemkes.go.id yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah ada sedari dulu sebelum diresmikan secara legal. Perkumpulan dokter di Nusantara ketika itu bernama Vereniging van Indische Artsen.

Tokoh organisasinya seperti dr J A Kayadu, dr Wahidin, dr Soetomo, dan dr Tjipto Mangunkusumo. Dokter-dokter saat itu memiliki peran penting terhadap kesehatan pada masa penjajahan.

Tak hanya itu saja, dokter juga memiliki andil besar terhadap perjuangan bangsa ketika itu, terlepas dari Boedi Oetomo. Pada 1926, organisasi ini diubah mejadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VIG).

Kemudian, pada 1940, VIG menggelar kongres di Solo. Kongres menugaskan Dr Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran.

Dokter ‘Kelas Dua’

Ilustrasi Dokter Gigi.
Ilustrasi Dokter Gigi. Photo by Caroline on Unsplash

Dilansir laman idionline.org, dijelaskan perubahan itu berdasarkan politik yang menjelma dari timbulnya rasa nasionalisme. Saat dokter pribumi dianggap sebagai dokter kelas dua, sehingga membuat kata “Indische” menjadi “Indonesische” dalam VIG.

Dengan demikian, profesi dokter telah menimbulkan rasa kesatuan atau paling tidak meletakkan sendi-sendi persatuan. Tujuan dari VIG ini adalah menyuarakan pendapat dokter, dimana pada masa itu persoalan yang pokok ialah mempersamakan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi kualitasnya.

Memasuki masa berakhirnya penjajahan, VIG mengadakan kongres di Solo. Dalam kongres ini mengumpulkan sekitar 3.000 istilah baru dalam dunia kedokteran.

Selain itu, kongres juga untuk meningkatkan upah dokter Nusantara agar mempunyai derajat yang sama dengan dokter Belanda. Seiring dengan masuknya Jepang, VIG berubah nama menjadi Jawa izi Hooko-Kai.

Kemudian, pada 30 Juli 1950, PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) dan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) menyelenggarakan rapat. Atas usul Dr. Seno Sastromidjojo, dibentuk Panitia Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI) yang diketuai Dr. Bahder Djohan.

Panitia ini bertugas menyelenggarakan Muktamar Dokter Warganegara Indonesia. Acara itu bertujuan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter Indonesia yang baru, dan merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia, baik dalam maupun keluar negeri.

Pada 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park (kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja) Jakarta. Sebanyak 181 dokter WNI menghadiri muktamar tersebut.

Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama. Lalu, pada 24 Oktober 1950, Dr. Soeharto (panitia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), menghadap notaris R Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama Ikatan Dokter Indonesia.

Nama yang tercantum dalam akta IDI, yaitu Dr Soeharto, Dr Sarwono Prawirohardjo, Dr R Pringgadi, Dr Puw Eng Liang, Dr Tan Eng Tie, dan Dr Hadrianus Sinaga. Sejak saat itu, Ikatan Dokter secara resmi memiliki legalitas hukum yang sah terlepas dari aroma penjajahan Belanda maupun Jepang. Dasar hukum itulah yang menjadi landasan ditetapkannya Hari Dokter Nasional.

Tema Hari Dokter Nasional

Adapun tema Hari Dokter Nasional 2022 adalah 'Berbakti untuk Negeri, Mengabdi untuk Rakyat' 'Satu IDI Terus Maju'.

Berbakti untuk Negeri artinya, ada banyak karya nyata IDI dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Dari masa ke masa, IDI menginisiasi dan merealisasi segala bentuk program, terobosan maupun regulasi kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Hal ini adalah sebuah bentuk dharma bakti para anggota IDI sebagai individu, maupun IDI secara organisasi untuk berbakti pada negeri.

Sementara, Mengabdi untuk Rakyat mengandung arti pembangunan kesehatan masyarakat seyogyanya dilakukan secara berkesinambungan dan melibatkan semua lini kehidupan. Pembangunan kesehatan harus mampu menjawab persoalan kesehatan masyarakat yang tentunya tidak sama di setiap wilayah Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya