Cerita Legenda dan Asal Usul Nama Perkampungan di Surabaya

Rakyat di daerah Wonokromo dan Wonocolo percaya bahwa kampung-kampung yang mereka diami adalah hasil karya dari Raden Situbondo

oleh Panji Prayitno diperbarui 29 Nov 2022, 16:00 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2022, 16:00 WIB
Cerita Legenda dan Asal Usul Nama Perkampungan di Surabaya
Aktifitas di Kampung Jahit Nusantara Surabaya. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kawasan perkampungan di Surabaya Jawa Timur diyakini memiliki cerita legenda masing-masing. Bahkan, cerita legenda tentang kampung yang ada di Surabaya tersebut sesuai dengan karakter dan ciri khasnya saat ini.

Seperti cerita sosok Raden Situbondo konon membuka hutan di Surabaya hingga menamai perkampungan di Surabaya dengan kata depan wono yang berarti hutan dan simo berarti singa atau harimau yang ditemukan pada hutan-hutan sebut.

Dirangkum dari berbagai sumber, rakyat di daerah Wonokromo dan Wonocolo percaya bahwa kampung- kampung yang mereka diami adalah hasil karya dari Raden Situbondo. Disebutkan ketika Raden Situbondo membuka hutan, di suatu tempat, ia menemukan tumpukan kulit kerang (kupang) yang menggunung, maka daerah itu dinamakan Kupang Gunung.

Di tempat lain, ia menemukan daerah yang banyak terdapat kerang yang tersusun rapi sekali menyerupai kerajaan, oleh karena itu daerah ini kemudian diberi nama Kupang Krajan. Ketika membuka hutan, di salah satu tempat Raden Situbondo berhadapan muka dengan Joko Jumput, dan kemudian keduanya beradu kekuatan.

Raden Situbondo kalah, bahkan hampir mati. Untuk menyelamatkan nyawanya, Raden Situbondo pergi ke Kedung Gempol dan minum air di kedung itu. Nyawa Raden Situbondo akhirnya dapat diselamatkan. Untuk itu, daerah tersebut kemudian diberi nama Banyu Urip.

Dalam kaitannya dengan Kampung Banyu Urip ini, pada suatu ketika di daerah Raden Situbondo pernah bertemu dengan singa atau harimau jadi-jadian dari Jin Trung.

Setelah singa jadi-jadian itu berhasil diusir, maka tempat itu diberi nama Simo Katrungan. Perjalanan dilanjutkan lagi, ternyata tak seberapa jauh, pangeran bertemu lagi dengan singa yang sama.

Singa itu ketakutan dan lari terbirit-birit (bahasa Jawa kesusu atau kewagean). Oleh karena itu, tempat ini kemudian diberi nama Kampung Simo Kewagean.

 

**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:

1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)

Saksikan video pilihan berikut ini:

Jayeng Rono

Selain tokoh di atas, tokoh lain yang banyak diceritakan dalam babad adalah tokoh Jayeng Rono dan Sawonggaling. Ada salah satu versi cerita tentang dongeng Jayengrono dan Sawonggaling yang dikaitkan dengan Raden Wijaya.

Setelah tentara Tar-Tar dapat dikalahkan dan dihalau dari Ujung Gauluh, sebagai penghargaan Raden Wijaya mendirikan sebuah keraton di Surabaya untuk ditempati oleh wakilnya.

Yang ditunjuk memimpin Ujung Galuh adalah Adipati Jayengrono. Lama kelamaan hubungan Surabaya Majapahit semakin renggang hingga Surabaya seakan berdiri sendiri.

Hal ini berhasil dicapai karena Jayengrono berhasil menguasai ilmu buaya putih. Alkisah pada suatu saat datanglah utusan dari Kerajaan Mataram yaitu Sawonggaling.

Utusan ini adalah seorang sakti yang menguasai ilmu suro dari Kraton Surakarta. Sawonggaling diutus untuk menuntut Surabaya agar bersedia takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Tentunya, hal ini tak dapat diterima oleh Jayengrono.

Ia menantang dan disepakati untuk mengadu kesaktian masing-masing, pertarungan itu disepakati pula dilakukan pada malam Jumat Legi dan akan berlangsung di kali Mas, di sekitar Paneleh Kepatihan.

Ternyata pertarungan yang berlangsung selama enam hari enam malam tak membawa hasil kalah maupun menang. Namun, pada hari ketujuh, keduanya meninggal kehabisan tenaga dan diarak untuk dipertontonkan kepada penduduk.

Pertarungan tersebut membuat Kali Mas menjadi merah dan sisik kedua makhluk tersebut bertebaran di daerah sekitarnya, daerah itu kini dikenal sebagai daerah Semut (dari semut-semut yang mengerumuni sisik-sisik tadi) dan Jembatan Merah.

Tempat di mana kedua jasad tersebut digantungkan kini bernama Kramat Gantung. Ada pula dongeng yang menceritakan tentang pembukaan daerah Keputran oleh salah seorang pengikut Raden Situbondo yang bernama Pangeran Joko Taruno.

Dalam menjalankan tugasnya ia selalu didampingi oleh pengikut yang setia Savid Panjang. Daerah yang menjadi tanggung jawab Pangeran Joko Taruno ini adalah Keputran sebelah daerah itu semula banyak sekali hutannya, di antaranya adalah hutan pohon jambu. Karena itu, kampung yang berdiri di sana kemudian diberi nama Keputran Kejambon.

Sedang daerah yang banyak mengandung tanah liat yang dipergunakan untuk membuat gerabah terutama kemaron (njun) diberi nama Keputran Panjunan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya