Liputan6.com, Kendari - Sebuah video viral, beredar di media sosial saat salah seorang anggota DPRD Sulawesi Tenggara menggebrak meja rapat, Senin (15/5/2023). Dalam video berdurasi 8.39 menit, tampak seorang anggota komisi III Syahrul Said, memukul meja rapat.
Setelah itu, rapat dengar pendapat berlangsung ricuh dan urung digelar hingga selesai. Sejumlah pemuda terlihat marah ke arah anggota DPRD. Tampak dalam video, seorang warga menantang duel Ketua Komisi III Suwandy Andi, langsung dilerai dan diamankan beberapa staf DPRD.
Menurut saksi mata di lokasi, awal kejadian, bermula saat belasan warga Desa Waturambaha Kecamatan Lasolo Kepulauan Konawe Utara, bertemu pihak PT Tiran Mineral Konawe Utara di Kantor DPRD Sulawesi Tenggara. Mereka mempertanyakan janji perusahaan nikel membangun smelter di wilayah mereka.
Advertisement
Baca Juga
Menurut warga, karena janji inilah, warga rela membiarkan lahan pertanian mereka di sekitar hutan produksi terbatas, dirambah menjadi lokasi tambang. Sebab, mereka dijanjikan kesejahteraan.
Namun, menunggu sejak 2019, janji pembangunan smelter tak kunjung terealisasi. Warga juga kesal, ganti rugi lahan yang dijanjikan juga tidak kunjung ada. Saat ini, perusahaan malah sudah angkat kaki dari lokasi tambang usai mengeruk kandungan nikel di wilayah itu.
Saat mencoba menyampaikan aspirasi ini, salah seorang utusan perusahaan langsung mengiterupsi rapat. Lalu, Ketua Komisi III Suwandi Andi yang ikut mengeluarkan pernyataan tegas agar tidak membahas soal janji pembangunan smelter.
Sejumlah pemuda kemudian terlihat kesal dan memutuskan walk out dari ruang rapat. Tiba-tiba, seorang anggota DPRD Syahrul Said, langsung memukul meja dan selanjutnya memicu kericuhan antara warga dan anggota DPRD.
Salah seorang warga, Awaluddin menyatakan, perusahaan sudah merambah sekitar 84 hektare lebih lahan warga. Hingga hari ini mereka belum mendapatkan ganti rugi.
"Lahan sudah rusak akibat operasi alat berat, bekas galian dan timbunan ore nikel dimana-mana," kata Awaluddin, Selasa (16/5/2023).
Kata Awaluddin, warga juga berkali-kali mengonfirmasi kepastian ganti rugi dan pembangunan smelter. Namun, perusahaan tidak pernah menanggapi serius.
"Sudah lima kali warga demonstrasi, beberapa kali ketemu perusahaan, namun tidak ada kepastian," ujar Awaluddin.
Saat dikonfirmasi, Ketua Komisi III Suwandy Andi menyatakan, kejadian bermula ketika warga meminta adanya pembahasan rapat mengenai janji pembangunan smelter oleh perusahaan. Saat itu, sekitar pukul 13.00 Wita. Rapat sudah berjalan, tiba-tiba ada pernyataan warga yang menyinggung poin terkait janji pembangunan smelter nikel di salah satu lokasi di Konawe Utara.
Suwandy Andi dan anggota komisi lainnya, menyatakan tidak bisa mengakomodasi permintaan warga. Menurutnya, poin tersebut keluar dari agenda utama sidang yang sudah disepakati.
"Saya sampaikan ke mereka bahwa tidak berani keluar dari agenda rapat utama, namun karena mereka memaksa, maka saya menskors sidang," ujar Suwandi Andi.
Kata Suwandi, akibat aksi tersebut, keadaan menjadi sedikit ricuh seperti video beredar. Menurutnya, pihaknya akan tetap melanjutkan sidang dan mencari waktu yang tepat membahas permasalahan tambang nikel Konawe Utara.
Perusahaan Sudah Pindah Lokasi
Salah seorang pemuda Konawe Utara, Hendrik menyatakan, saat ini, perusahaan sudah memindahkan lokasi produksi dari Desa Waturambaha Kecamatan Lasolo Kepulauan ke Desa Lameruru Kecamatan Langgikima. Di sana, mereka sudah memulai eksplorasi sejak beberapa waktu lalu.
Warga Lasolo Kepulauan yang mendatangi DPRD, menurut Hendrik merasa cukup kesal. Sebab lahan sudah hancur, sedangkan perusahaan telah angkat kaki dan tidak ada kejelasan soal smelter.
Kata dia, saat ini, hampir sudah tidak ada aktivitas tambang PT Tiran Mineral di wilayah Waturambaha. Namun, masih ada basecamp karyawan dan beberapa penjaga.
"Kami pikir, operasi PT Tiran Mineral sudah pindah dari Lasolo Kepulauan, mereka pindah ke Langgikima dengan nama perusahaan PT Tiran Indonesia," jelas Hendrik.
Kata dia, saat beroperasi di Desa Waturambaha, PT Tiran Mineral tidak memiliki kelengkapan izin administrasi. Dia juga memastikan, tidak ada IUP eksplorasi dan produksi. Selain itu, tidak ada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
"Meskipun demikian, kami menduga sudah ada sekitar 100 tongkang lebih PT Tiran mengangkut hasil nikel dengan alasan land clearing untuk pembuatan smelter," ujarnya.
Hendrik menduga, janji mendirikan smelter sejak awal beroperasi 2019, hanya untuk menenangkan protes masyarakat. Sebab, dalam pikiran warga, smelter bisa bikin mereka sejahtera karena bisa menjadi ikut menjadi karyawan yang digaji setiap bulan.
"Tapi, ternyata smelter ini hanya sebatas janji saja, kamuflase, malah saat ini mereaka sudah pindah lokasi setelah lahan hutan hancur," kata Hendrik.
Pihak perusahaan, saat berupaya dikonfirmasi terkait tuntutan warga, menolak memberikan klarifikasi. Humas PT Tiran, La Pili saat dihubungi via talepon seluler hanya menjawab singkat sembari menolak berkomentar banyak.
"Jangan dulu ya, silahkan hubungi DPRD, mereka tahu itu," ujar La Pili.
Advertisement