Liputan6.com, Batam - Aparat gabungan TNI, Polri dan BP Batam memaksa masuk ke kampung adat masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023). Bentrokan antara aparat dan warga yang menolak penggusuran pun tidak dapat dihindari.
Aparat mulai masuk pada pukul 10.00 WIB pagi ini. Ribuan warga menunggu di Jembatan 4, Pulau Rempang, Kota Batam.
"Aparat memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tata bata di Pulau Rempang," kata Bobi, seorang warga Rempang, Kamis (7/9/2023).
Advertisement
Bobi mengatakan, warga sampai saat ini masih menolak aktivitas apapun dari tim gabungan selama jaminan kampung mereka terjaga dari pengusuran belum dipastikan.
"Tim gabungan memaksa masuk, ini bentrok sudah terjadi, lima orang warga sudah dibawa ke polres," katanya.
Tidak hanya itu beberapa warga juga ditangkap aparat gabungan dan dimasukkan ke dalam mobil. Kondisi sampai saat ini masih terjadi bentrok.
Walhi Mendesak Polda Kepri Tarik Pasukan
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin, meminta Polda Kepri menarik pasukan dari kampung warga Rempang.
Diketahui, polisi menerjunkan sekitar 1.000 personelnya untuk mengawal aktivitas pematokan dan pengukuran tanah di Pulau Rempang. Warga yang menolak ditembak gas air mata.
"Enam orang warga ditangkap polisi, sejumlah warga mengalami luka-luka. Hal ini menunjukkan ironi besar, karena uang yang didapat dari pajak dari rakyat digunakan untuk melawan dan melumpuhnya rakyat yang memperjuangkan ruang hidupnya," kata Parid.
Dirinya lebih jauh mengatakan, masyarakat Pulau Rempang adalah pemilik hak atas tanahnya sendiri. Jika pemerintah dalam hal ini Wali Kota Batam tidak mampu melindungi warganya, maka dia telah gagal menjalankan mandat rakyat.
"Walhi sedang berkomunikasi dengan Komnas HAM untuk memastikan perlindungan HAM masyarakat Pulau Rempang," katanya.
Advertisement
Kata BP Batam
Sebelumnya Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, mengaku telah menyediakan lahan untuk warga Rempang yang direlokasi untuk pengembangan Kawasan Rempang Eco City.
"Relokasi ke tempat yang baru ini akan kami siapkan. Kami tidak akan pindahkan bapak dan ibu begitu saja," kata Kepala Badan BP Batam Muhammad Rudi dalam keterangan di Batam, Rabu.
Ia menjelaskan, jika hunian baru tersebut belum selesai, maka masyarakat Rempang Galang akan mendapatkan hunian sementara serta biaya hidup yang juga akan ditanggung setiap bulan.
Adapun biaya hidup selama masa relokasi sementara itu sebesar Rp1.034.636 per orang dalam setiap kartu keluarga (KK).
"Biaya hidup tersebut termasuk biaya air, listrik, dan kebutuhan lainnya," ujar dia.
Sementara, untuk masyarakat yang memilih untuk tinggal di tempat saudara atau di luar dari hunian sementara yang disediakan, akan diberikan tambahan biaya sewa sebesar Rp1 juta per bulan.
"Jadi itu akan kami berikan sampai hunian baru selesai dibangun," kata Rudi.
Lebih lanjut ia menjelaskan hunian baru yang disiapkan itu berupa rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah maksimal 500 m2.
Hunian tersebut berada di Dapur 3 Si Jantung yang sangat menguntungkan untuk melaut dan menyandarkan kapal.
Lokasi hunian baru tersebut akan diberi nama "Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City" dan menjadi kampung percontohan di Indonesia sebagai kampung nelayan modern dan maju.
"Di Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City itu akan tersedia berbagai fasilitas pendidikan lengkap dari tingkat SD, SMP hingga SMA, pusat layanan kesehatan, olahraga dan sosial," kata Rudi.
Selanjutnya tersedia fasilitas ibadah seperti masjid dan gereja, fasilitas tempat pemakaman umum yang tertata dan fasilitas dermaga untuk kapal-kapal nelayan dan trans hub.
Pembangunan hunian baru itu, akan dijalankan selama 12 bulan setelah pematangan lahan dan ditargetkan hunian tahap satu akan selesai pada Agustus 2024.
"Intinya kami akan semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada bapak dan ibu masyarakat Rempang Galang," kata Rudi.