Wayang Potehi, Sarana Hiburan dan Pujian di Tahun Baru Imlek yang Diciptakan Terpidana Mati

Akar kesenian wayang potehi telah berkembang ribuan tahun lalu. Menurut cerita tutur, wayang potehi dibuat oleh lima terpidana mati yang menunggu hari eksekusi.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 10 Feb 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2024, 16:00 WIB
Melihat Pertunjukan Wayang Potehi di Dukuh Atas
Dalang memainkan wayang potehi di Taman Budaya Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (7/2/2020). Pagelaran pertunjukan wayang Tionghoa ini merupakan rangkaian kebudayan imlek yang di gelar oleh Pemprov DKI Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Wayang potehi merupakan seni pertunjukan yang kerap hadir di kemeriahan Tahun Baru Imlek. Boneka tradisional asal Fujian, Tiongkok Selatan, ini terbuat dari kain dengan beberapa bagian terbuat dari kayu.

Nama potehi berasal dari akar kata pou (kain), te (kantong), dan hi (wayang). Jika diartikan secara harfiah, kata tersebut bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain.

Mengutip dari indonesiakaya.com, akar kesenian wayang potehi telah berkembang ribuan tahun lalu. Menurut cerita tutur, wayang potehi dibuat oleh lima terpidana mati yang menunggu hari eksekusi.

Mereka berusaha menghilangkan kesedihannya dengan membuat boneka dari potongan kain. Mereka kemudian memainkannya dengan musik pengiring dari barang-barang seadanya.

Tak hanya menghibur mereka, pertunjukan sederhana itu juga dapat menghibur tahanan lain dan para sipir penjara. Hal ini kemudian sampai ke telinga raja. Akhirnya, mereka diminta bermain di istana dan dibebaskan dari hukuman mati karena berhasil menghibur raja.

Pada abad ke-16, wayang potehi dibawa imigran asal Tiongkok ke Nusantara dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Tak hanya sebagai hiburan, wayang potehi juga berfungsi sebagai ritual. Pertunjukan wayang potehi menjadi sarana ungkapan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur.

 

Lima Jari

Wayang potehi dimainkan dengan menggunakan lima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan. Setiap wayang dapat dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, dan Sia Kao Kim yang warna wajahnya tak dapat berubah.

Uniknya, wayang potehi dimainkan di sebuah panggung pay low berwarna merah. Panggung ini berbentuk miniatur rumah dan bisa dibuat secara permanen atau bongkar-pasang.

Untuk memainkan wayang potehi dibutuhkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas.

Adapun berbagai peralatan pentas yang diperlukan adalah wayang, busana, dan senjata. Masing-masing dapat memainkan dua wayang dengan 20-25 wayang yang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.

Untuk musik pengiring, wayang potehi memerlukan gembreng besar (toa loo), rebab (hian na), kayu (piak ko), suling (bien siauw), gembreng kecil (siauw loo), gendang (tong ko), dan selompret (thua jwee). Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie.

Lakon-lakon tersebut merupakan kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tiongkok. Jika dipentaskan di luar kelenteng, maka cerita wayang potehi akan berkisah tentang cerita-cerita populer, seperti Sun Go Kong (Kera Sakti), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang.

Meski perkembangan kesenian wayang potehi di Indonesia mengalami pasang surut, seni pertunjukan ini masih tetap diadakan di berbagai tempat, khususnya saat Tahun Baru Imlek. Kini, wayang potehi telah menjadi bagian kebudayaan Indonesia.

 

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya