Melihat Prospek Sektor Saham Perkebunan

Sejumlah sentimen mempengaruhi sektor saham perkebunan mulai dari El Nino, pemanfaatan biodiesel dan harga minyak.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 03 Sep 2015, 09:46 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2015, 09:46 WIB
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan Kelapa Sawit (AFP PHOTO/Saeed KHAN)

Liputan6.com, Jakarta - Sektor saham perkebunan masih cenderung lesu sepanjang 2015. Tercatat kinerja sektor saham perkebunan melemah 32,02 persen ke level 1.596,27 secara year to date. Awan mendung masih meliputi sektor saham perkebunan ini tak lepas dari harga minyak kelapa sawit/crude palm oil (CPO) masih melemah ditambah pasokan terus melebihi permintaan.

Mengutip riset PT BNI Securities pada 28 Agustus 2015, dalam kurun waktu 1991-2000, rata-rata permintaan minyak kelapa sawit mencapai 829.400 ton per tahun. Angka ini pun terus meningkat menjadi 2,34 juta ton pada 2001-2010. Setelah mencapai rekor rata-rata 3,25 juta ton ternyata tidak terserap pada 2011, harga minyak kelapa sawit pun turun dari rata-rata US$ 1.111 per ton pada 2011 menjadi US$ 664 per ton pada semester I 2015.

Kendati demikian, ada sentimen yang dapat mendongkrak kinerja emiten perkebunan. Salah satunya program biodiesel. Minyak kelapa sawit menjadi salah satu minyak nabati yang banyak dikonsumsi dengan kontribusi 40,6 persen dari total konsumsi minyak nabati. Permintaan naik dua kali lipat dari 30,38 juta ton minyak sawit pada 2004 menjadi 60,27 juta ton yang diperkirakan pada 2015. Kenaikan sebagian didorong dari penerapan biofuel yang telah diamanatkan di sejumlah negara.

Pemerintah Indonesia pun memutuskan menambah kandungan biodiesel dalam solar sebanyak 5 persen. Penambahan kandungan biodiesel pada solar dari 10 persen menjadi 15 persen sejak April 2015.

Pemerintah Indonesia juga telah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk menjalankan program pungutan pengembangan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) supporting fund. Badan ini bernama Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada 15 Juni 2015.

Pembentukan badan ini bertujuan untuk mempercepat pemanfaatan BBN jenis bio diesel dari bahan baku hasil industri kelapa sawit. Dana dipungut sekitar US$ 50 per ton untuk CPO dan US$ 30 per ton untuk minyak sawit olahan.

Meski harga minyak mentah turun diikuti biofuel, penggunaan biodiesel masih aktif digencarkan di Indonesia. Pemerintah menargetkan kebutuhan campuran biodiesel mencapai 30 persen pada 2020. Indonesia diasumsikan akan mencapai target biodiesel sehingga berdampak bagi ekonomi Indonesia, dan berpengaruh kepada harga. FAO juga memproyeksikan produksi minyak nabati Indonesia akan meningkat sekitar 2,5 persen dengan dukungan sejumlah kebijakan.

Analis PT BNI Securities Yasmin Soulisa menuturkan El Nino yang terjadi sejak awal Juni dapat mendongkrak harga minyak kelapa sawit. El Nino terjadi mengakibatkan musim kemarau panjang di Indonesia. Cuaca ekstrim akan mempengaruhi volume produksi minyak sawit selama 6-9 bulan.

"Meski pun secara umum akan mempengaruhi persediaan sehingga menaikkan harga meski tipis, tapi kami yakin dampaknya tidak akan signifikan pada 2016," ujar Yasmin, dalam ulasannya, Rabu (2/9/2015).

Analis PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe mengatakan kalau dampak El Nino akan membuat harga CPO sedikit naik.

Prospek Sektor Perkebunan CPO

Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Prospek Sektor Perkebunan CPO

Yasmin mengatakan, saat ini belum ada sentimen yang dapat mengangkat harga CPO. Bila melihat persediaan CPO pada Juli 2015 mencapai 2,27 juta ton, atau 16 persen lebih tinggi dari periode sama tahun lalu sementara ekspor sedikit lebih rendah 1,39 persen. Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia memasuki puncak musim panen pada kuartal III 2015, dan pasokan pun menumpuk hingga akhir 2015.

"Kami menuturkan harga minyak kelapa sawit global dari US$ 717 per ton menjadi US$ 670 per ton," kata Yasmin.

Senada dengan Yasmin, Analis PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menuturkan harga komoditas masih rendah akan menekan kinerja emiten perkebunan. Hal itu ditambah permintaan lesu.

"CPO ( crude palm oil) diperkirakan menurun dibandingkan kinerja 2014 lalu, karena lebih rendahnya harga jual CPO dibanding tahun lalu, juga menurunnya permintaan," kata Alfred.

Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah. Bahkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) sempat sentuh level 14.127 per dolar AS belum dapat memberikan angin segar bagi industri ini. Lantaran permintaan CPO lebih banyak dari dalam negeri dibandingkan ekspor ke luar negeri.

"Kurang menguntungkan karena permintaan CPO lebih banyak dari domestik di bandingkan ekspor," tambah Alfred.

Sementara itu, Analis PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe mengatakan harga CPO cenderung masih stabil di kisaran Ringgit Malaysia 2.000. Hal itu membuat sektor saham perkebunan masih stabil. "Pasokan masih berlimpah permintaan juga stabil," ujar Kiswoyo saat dihubungi Liputan6.com.

Meski demikian ada sentimen dapat mendongkrak harga CPO. Ekpor minyak kelapa sawit Indonesia ke Bangladesh diharapkan meningkat 40,86 persen kurun waktu lima bulan 2015 dibandingkan tahun lalu sekitar 425,72 ton. Lalu jumlah ekspor ke India naik 33,56 persen secara year on year menjadi 2,3 juta ton. Hal ini dapat mengimbangi permintaan dari China turun seiring beralih ke sumber lain minyak nabati yaitu minyak kedelai.

"Melihat potensi dan risiko kami mengubah pandangan sektor perkebunan dari overweight menjadi netral pada semester II 2015," tulis Yasmin.

Pilihan Saham

IHSG
IHSG (ANTARA Foto)

Pilihan Saham

Yasmin memilih saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) di sektor perkebunan. Dalam situasi kondisi sulit ini, perseroan masih mempertahankan neraca sehat dengan likuiditas solid. "Rasio likuiditas lancar 2,12 kali lebih tinggi pada 2015 dari posisi 1,15 kali. Meski margin laba bersih turun 20,17 persen pada enam bulan pertama 2015 menjadi 14,85 persen namun di atas industri 6,64 persen," kata Yasmin.

Yasmin menargetkan harga saham LSIP Rp 1.400 per saham. Hal itu menunjukkan price earning ratio (PER) 9,72 kali dengan price book value (PBV) 0,96 kali. Angka ini di bawah rata-rata industri PE rasio 19,54 kali dan PBV 1,95 kali. "Harga saham ini dipengaruhi dari cuaca ekstem dan kebijakan biodiesel lebih ketat sehingga mempercepat pemulihan harga minyak sawit," ujar Yasmin.

Sedangkan Kiswoyo memilih saham LSIP dan PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) untuk diperhatikan pelaku pasar. "Beli LSIP dengan target harga Rp 1.500 dan BWPT di Rp 1.000," ujar Kiswoyo.

Alfred tidak merekomendasikan saham-saham CPO mengingat proyeksi yang masih belum cerah dalam 6 bulan ke depan.

Pada penutupan perdagangan saham Selasa 1 September 2015, saham LSIP ditutup di kisaran Rp 1.095 per saham. (Ilh/Ahm)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya