Wall Street Mencoba Mendaki, Saham Facebook Masih Jadi Beban

Wall Street mampu menguat tipis pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta) terdorong oleh kenaikan harga minyak.

oleh Arthur Gideon diperbarui 21 Mar 2018, 05:10 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2018, 05:10 WIB
Perdagangan Saham dan Bursa
Ilustrasi Foto Perdagangan Saham dan Bursa (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Wall Street mampu menguat tipis pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta) terdorong oleh kenaikan harga minyak. Namun pelemahan saham Facebook masih menjadi pemberat gerak bursa saham di Amerika Serikat (AS) tersebut.

Mengutip Reuters, Rabu (21/3/2018), Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 116,36 poin atau 0,47 persen menjadi 24.727,27. Untuk S&P 500 naik 4,02 poin atau 0,15 persen menjadi 2.716,94. Sedangkan Nasdaq Composite menambahkan 20,06 poin atau 0,27 persen ke 7.364,30.

Harga minyak naik lebih dari dua persen dan menyentuh level tertinggi dalam tiga minggu terdorong oleh ketegangan di Timur Tengah dan kemungkinan penurunan lebih lanjut pada produksi minyak mentah Venezuela.

Keuntungan tersebut membantuk sektor energi dalam S&P 500 naik 0,84 persen sehingga mendorong 11 sektor lain untuk menguat juga.

Namun, saham Facebook turun 2,6 persen, kembali jatuh dari posisi terendah sebelumnya. Perusahaan media sosial tersebut pada Selasa mengatakan bahwa pihaknya mendapat pertanyaan dari U.S. Federal Trade Commission mengenai bagaimana cara Donald Trump menggunakan berbagai perangkat dalam Facebook dalam kampanye.

Saham Facebook turun lebih dari 9 persen dalam dua sesi terakhir dan merupakan penurunan dua hari terbesar dalam sepanjang sejarah perusahaan. Tentu saja, penurunan saham Facebook untuk menjadi pemberat gerak Wall Street.

Anggota parlemen AS dan Eropa pun menuntut penjelasan dari perusahaan analisis data, Cambridge Analytica (CA), yang diduga terlibat dalam skandal besar kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook.

Perusahaan yang pernah bekerja dengan tim kampanye Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, itu dituding menggunakan jutaan data untuk membuat sebuah program software yang hebat sehingga bisa memprediksi dan memengaruhi pemilihan suara.

"Saat ini pelaku pasar tengah meraba-raba bagaimana ini akan berakhir," jelas analis Themis Trading di Chatham, New Jersey, AS, Joe Saluzzi.

Facebook bukan satu-satunya saham perusahaan media sosial yang terkena dampak pada hari Selasa. Saham Snap Inc turun 2,56 persen, sementara saham Twitter Inc turun 10,38 persen.

Kasus Cambridge Analytica

Facebook
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Dilansir The Guardian, Selasa (20/3/2018), seorang whistleblower bernama Christopher Wylie, mengungkapkan kepada Observer The Guardian, bagaimana Cambridge Analytica (CA) menggunakan informasi personal diambil tanpa izin pada awal 2014 untuk membangun sebuah sistem yang dapat menghasilkan profil pemilih individual AS.

Hal ini dilakukan untuk menargetkan mereka dengan iklan politik yang telah dipersonalisasi. CA sendiri merupakan perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Robert Mercer dan pada saat itu dimpimpin oleh penasihat utama Trump, Steve Bannon.

"Kami mengekspolitasi Facebook dan "memanen" jutaan profil orang-orang. Kami membuat berbagai model untuk mengeksploitasi apa yang kami tahu tentang mereka dan menargetkan 'isi hati' mereka. Itulah dasar keseluruhan perusahaan dibangun," ungkap Wylie.

Dokumen yang dilihat Observer dan dikonfirmasi oleh pernyataan Facebook, menunjukkan bahwa perusahaan pada akhir 2015 mengetahui ada kebocoran data yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, Facebook saat itu gagal memperingatkan para pengguna, kemudian hanya melakukan sedikit upaya untuk memulihkan dan mengamankan informasi lebih dari 50 juta penggunanya.

Menurut laporan New York Times, salinan pengambilan data untuk CA masih bisa ditemukan di internet. Tim media tersebut, juga dilaporkan melihat beberapa data mentah.

Seluruh data dikumpulkan melalui sebuah aplikasi bernama thisisyourdigitallife, yang dibuat oleh akademisi Aleksander Kogan, terpisah dari pekerjaannya di Cambridge University.

Melalui perusahaannya, Global Science Research (GSR) berkolaborasi dengan CA, membuat ratusan ribu pengguna dibayar untuk menjalani pengujian kepribadian dan menyetujui data mereka diambil untuk kepentingan akademis.

Selain itu, aplikasi juga mengumpulkan informasi dari test-taker teman-teman di Facebook, yang menyebabkan akumulasi puluhan juta data.

Kebijakan platform Facebook hanya mengizinkan pengumpulan data teman-teman untuk meningkatkan pengalaman pengguna di aplikasinya, dan dilarang untuk dijual atau digunakan untuk iklan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya