Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada pekan ini. Hal itu didukung nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan aksi beli investor asing.
Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, Sabtu (26/1/2019), IHSG menguat 0,54 persen dari periode 18 Januari-25 Januari 2019. IHSG menguat ke posisi 6.448 pada Jumat pekan lalu menjadi 6.482.
Penguatan IHSG cenderung terbatas lantaran saham kapitalisasi besar masuk indeks LQ45 melemah 0,48 persen. IInvestor asing membukukan aksi beli USD 38 juta atau sekitar Rp 534,72 miliar (asumsi kurs Rp 14.071 per dolar AS) di pasar saham.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, di pasar obligasi cenderung mendatar. Hingga Kamis, indeks obligasi hanya naik 0.09 persen. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pun merosot ke posisi 8.1 persen.Aksi jual investor asing mencapai USD 175 juta atau sekitar Rp 2,46 triliun hingga perdagangan Kamis.
Ada sejumlah sentimen yang pengaruhi pergerakan IHSG selama sepekan. Dari eksternal, perkembangan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China masih jadi sorotan.
Di tengah perang dagang yang sedang berlangsung antara dua ekonomi terbesar di dunia, ada laporan China menawarkan untuk membeli lebih banyak produk AS di tahun mendatang. Ini untuk mengurangi ketidak seimbangan perdagangan barang di kedua negara.
Ini juga sebuah janji untuk menghapus surplus perdagangan dengan AS pada 2024. Meski tawaran itu tidak tercatat, tetapi masih jadi kejutan besar terutama mengingat cara Presiden AS Donald Trump yang menggunakan cara perang dagang.
Jika China membeli lebih banyak dari AS tanpa membuat penyesuaian lain, bisa mendorong neraca berjalan menjadi defisit. China mungkin ingin menghindari itu.
Jadi kemungkinan China mengalihkan pembelian dari negara lain. Kedua negara pun dijadwalkan tetap melakukan pertemuan. Hal ini membantah kalau AS telah membatalkan pertemuan.
Sentimen lainnya pengaruhi pasar yaitu, perkembangan penutupan pemerintahan AS. Secara resmi penutupan pemerintah AS terpanjang dalam sejarah yang mencapai 35 hari. Selain itu, Presiden Trump juga setuju tidak memberikan pidato State of the Union hingga pemerintah dibuka.
Langkah ini dilakukan setelah Ketua DPR Nancy Pelosi mengecewakan Trump di tengah kekhawatiran atas keamanan dan banyak dari pegawai keamanan belum terima gaji.
Dolar AS Bakal Tertekan
Masih dari AS, laporan keuangan perusahaan di AS tampaknya solid. Misalkan American Airlines dan JetBlue mencatat pendapatan lebih baik dari yang diperkirakan. Hal ini juga diikuti oleh Texas Instruments.
Perkembangan Brexit juga dicermati pelaku pasar. Tekanan meningkat kepada Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk mengesampingkan Brexit yang tidak ada kesepakatan setelah Airbus SE mengancam akan meninggalkan Inggris. Selain itu, memperingatkan kalau meninggalkan Uni Eropa tanpa perjanjian akan menjadi pengkhianatan para pemilih.
Dari dalam negeri, pemerintah keluarkan peraturan mengenai devisa hasil ekspor. Ini mengatur mengenai semua kebijakan hasil ekspor untuk sumber daya alam yang diharapkan dapat meningkatkan likuiditas.
Lalu apa yang dicermati ke depan?
Ashmore soroti mengenai dolar AS yang melemah. Sebelumnya Ashmore Global Strategist Jan Dehn menuturkan kalau pihaknya optimistis terhadap emerging market atau negara berkembang. Hal ini setelah distorsi panjang akibat pelonggaran kuantatif.
Adapun investor global akan tertarik melihat pasar negara berkembang sehingga terjadi pembalikan dan mendorong penguatan mata uang di negara berkembang. Ada sejumlah katalis yang dapat menjadi penentu melemahnya dolar AS.
Katalis itu antara lain tren peningkatan pertumbuhan negara berkembang . Ini mengingat negara berkembang akan tetap tumbuh sedangkan Amerika Serikat melambat. Selain itu, pertumbuhan produktivitas yang mendatar di AS. Lalu suku bunga bank sentral AS atau the Federal Reserve dekati puncaknya karena perlambatan pertumbuhan yang meningkat di AS.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement