Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada perdagangan saham selama sepekan ini. Hal itu didorong kenaikan sektor saham industri dasar yang meningkat 4,7 persen.
Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (8/12/2018), IHSG menanjak 1,1 persen ke posisi 6.126 hingga Jumat 7 Desember 2018. Penguatan itu didorong indeks saham LQ45 menguat 1,15 persen ikuti kenaikan IHSG. Meski demikian, investor asing melakukan aksi jual saham senilai USD 15 juta atau sekitar Rp 217,27 miliar (asumsi kurs Rp 14.484 per dolar AS) pada pekan ini.
Sementara itu, di pasar obligasi atau surat utang, indeks obligasi susut 0,4 persen hingga perdagangan Kamis pekan ini. Imbal hasil surat utang pemerintah bertenor 10 tahun berada di posisi 8 persen. Investor asing juga jual obligasi senilai USD 45 juta atau sekitar Rp 651,74 miliar pada perdagangan Senin. Pada pekan ini, nilai tukar rupiah melemah ke posisi 14.480 per dolar AS.
Advertisement
Baca Juga
Lalu sentimen apa saja bayangi pergerakan bursa saham global dan IHSG selama sepekan?
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping setuju gencatan selama 90 hari ke depan terkait perang dagang. Langkah ini memberikan peluang untuk pembicaraan lebih lanjut. Meski pelaku pasar saham menyambut baik, tapi ada perbedaan mendasar antara kedua negara itu yang masih luas.
Misalkan masalah struktural antara lain penghentian transfer teknologi secara paksa, penegakan hak kekayaan intelektual, dan akhiri subsidi negara untuk industri strategis tetap menjadi isu utama.
Di sisi lain, penangkapan CFO Huawei Meng Wanzhou di Kanada juga menghambat gencatan perang dagang. Penangkapan putri dari pendiri Huawei ini lantaran potensi pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap sanksi AS terhadap Iran. Pentagon berhenti menawarkan perangkat Huawei di pangkalan militer AS karena alasan keamanan.
Sementara itu, data ekonomi Amerika Serikat (AS) menunjukkan hasil beragam. Neraca perdagangan AS menunjukkan defisit melebar menjadi USD 55,5 miliar pada Oktober 2018 dari sebelumnya USD54,6 miliar. Ini defisit tertinggi sejak Oktober 2018. Hal itu dipicu penjualan kedelai lebih rendah sehingga bebani ekspor. Sedangkan impor mencapai rekor tertinggi baru.
Data lainnya juga menunjukkan klaim pengangguran awal berada di 231 ribu, angka ini lebih tinggi dari perkiraan. Selain itu, pesanan pabrik turun 2,1 persen, market US services PMI berada di 54,7.
Sentimen global lainnya pengaruhi pasar keuangan yaitu proses Britain Exit (Brexit). Pada Selasa depan, anggota parlemen Inggris akan memilih apakah akan menerima rencana Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk meninggalkan Uni Eropa.
Hasilnya tidak pasti, terutama jika May menderita kekalahan. Sejumlah spekulasi menyebutkan bisa mengarah pada pergantian perdana menteri, upaya merevisi kesepakatan Brexit, dan keruntuhan total pemerintah. Bahkan melaksanakan pemungutan suara kedua apakah Inggris dan Irlandia Utara harus meninggalkan Eropa sama sekali.
Selain itu, negosiasi organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) berlangsung dan timbulkan pesismisme. OPEC memulai pembicaraan lebih lanjut mengenai pembatasan produksi minyak setelah pertemuan puncak pada Kamis yang berakhir tanpa kesepakatan. Ini karena Rusia menolak pemotongan produksi besar yang dituntut Arab Saudi.
Ini menunjukkan OPEC juga berada di bawah tekanan untuk kembali menggambarkan peta minyak global, dan membiarkannya semakin bergantung pada dukungan non-anggota Rusia. Di sisi lain, AS juga menyatakan kalau menjadi pengekspor minyak bersih untuk pertama kali dalam 75 tahun pada pekan lalu.
Sentimen lainnya yaitu pertemuan kebijakan non moneter bank sentral Eropa. Bank sentral Eropa mempertahankan bunga refinancing 0 persen pada 25 Oktober. Bank sentral Eropa juga akan terus melakukan pembelian bersih senilai 15 miliar euro hingga akhir Desember. Para pembuat kebijakan berharap suku bunga tetap berada di tingkat rendah hingga musim panas 2019. Sentimen eksternal itu pengaruhi pasar keuangan global yang berimbas ke IHSG.
Â
Sentimen Internal Bayangi IHSG
Dari sentimen internal, Indonesia membukukan inflasi tahun kalender 3,23 persen hingga November 2018. Angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,16 persen. Selain itu juga mengalahkan harapan pasar di 3,15 persen.
Adapun tiga kontributor inflasi November 2018 antara lain makanan sebesar 0,05 persen. Bahan pangan itu termasuk bawang merah, beras dan telur ayam. Sedangkan harga cabai merah dan daging ayam turun, diikuti sektor properti yang juga mencetak kontribusi signifikan.
Sementara itu, upah tenaga kerja, transportasi, komunikasi dan sektor jasa keuangan menyumbang 0,1 persen.
Bank Indonesia (BI) juga melaporkan cadangan devisa tercatat meningkat USD 117,2 miliar pada November dari periode sebelumnya USD 115,2 miliar. Cadangan devisa yang naik ini pertama pada 2018 setelah mata uang rupiah tertekan. Pelaku pasar mengharapkan cadangan devisa meningkat pada Desember 2018.
Â
Advertisement
Mencermati Kurva Imbal Hasil Surat Berharga AS
Lalu hal apa yang perlu dicermati ke depan?
Ashmore menyoroti kurva imbal hasil terbalik. Hal itu apakah menunjukkan tanda resesi? Dalam sepekan terakhir, ada beberapa kekhawatiran di kalangan investor karena imbal hasil surat berharga Amerika Serikat (AS) bertenor 3 tahun dan 5 tahun terbalik.
Secara historis, imbal hasil jangka panjang lebih rendah dari obligasi jangka pendek. Ada sejumlah kekhawatiran itu sinyal untuk resesi.
Lalu apa itu kurva terbalik? Kurva imbal hasil obligasi biasannya menunjukkan obligasi jatuh tempo lebih lama menghasilkan kinerja imbal hasil lebih tinggi dari pada jatuh tempo lebih pendek. Secara teoritis, obligasi jangka panjang membayar investor lebih tinggi karena sifatnya berisiko dari siklus ekonomi antara lain penurunan inflasi dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Lalu apa yang terjadi sekarang?
Untuk sementara, imbal hasil surat berharga AS telah mendatar karena ada serangkaian kenaikan suku bunga the Federal Reserve atau the Fed yang didorong peningkatan inflasi. Kurva imbal hasil yang mendatar juga berarti hanya ada sedikit keuntungan bagi investor untuk memiliki obligasi berjangka panjang.
Â
Apa Artinya bagi Indonesia?
Pertanyaan selanjutnya bagaimana siklus 2018/2019?
Pasar dinilai akan mengawasi keputusan bank sentral AS atau the Federal Reserve. Sinyal pertama akan terjadi usai pertemuan bank sentral AS pada Desember 2018. Harapan kenaikan suku bunga mencapai 69 persen, angka ini turun dari posisi September 2018 sebesar 85 persen.
Lalu apakah the Federal Reserve akan melihat kurva imbal hasil obligasi terbalik sebagai tanda menghentikan kenaikan suku bunga? Namun, pasar tampaknya mulai terbagi dengan kemungkinan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali pada 2019 dari sebelumnya yang diperkirakan empat kali.
Sejumlah ekonom bank besar juga menyarankan the Federal Reserve menghentikan kenaikan suku bunga pada 2019. Bahkan ada berbicara untuk memangkas suku bunga pada 2020.
Apa artinya bagi Indonesia?
Dengan asumsi the Federal Reserve akan hentikan kenaikan suku bunga pada 2019, Bank Indonesia (BI) dinilai akan membuat lebih mudah ambil keputusan kebijakan moneter dan ikuti pemotongan suku bunga.
Ini juga dapat mendorong reli untuk pasar saham dan obligasi Indonesia. Hal ini karena pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dapat berlanjut karena bank mempertahankan suku bunga pinjaman apda level saat ini. Selain itu kurangi tekanan pada mata uang dan inflasi. Mendekati akhir tahun, sepertinya sentimen telah berubah untuk persiapkan yang terbaik pada 2019.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement