Liputan6.com, Jakarta - Selain memiliki taman-taman dan hutan kota yang bikin segar mata, Kota Pahlawan juga memiliki wisata bahari yang dapat jadi pilihan untuk dikunjungi ketika berada di Surabaya, Jawa Timur. Salah satunya adalah Pantai Kenjeran.
Pantai ini terbagi menjadi Pantai Kenjeran Lama dan Pantai Kenjeran Baru, Surabaya. Untuk Pantai Kenjeran Lama itu sendiri, kegiatan yang bisa dilakukan lebih mengarah kepada kegiatan wisata konvensional.
Pengunjung dapat menikmati pemandangan alami dengan ombak yang tidak terlalu besar. Oleh karena itu rekreasi yang biasa dilakukan oleh pengunjung adalah berlayar dengan menyewa perahu dan berenang. Perahu tersebut akan berkeliling selama kurang lebih satu jam perjalanan.
Advertisement
Baca Juga
Pengunjung juga bisa berwisata kuliner di pantai Kenjeran Lama ini. Selain itu, di wilayah ini dapat melihat pemandangan Jembatan Suramadu, jembatan ini terlihat lebih indah ketika malam hari.
Wisata Pantai Kenjeran Baru disebut juga sebagai Kenpark atau Pantai Ria Kenjeran. Pembangunan wisata baru di Surabaya ini dibangun karena kawasan wisata Kenjeran Lama semakin sepi pengunjung. Setelah dibangun Kenpark ini, kawasan wisata tersebut kembali ramai.
Berbeda dengan Pantai Kenjeran Lama, Pantai Kenjeran Baru memiliki konsep lebih modern. Daya tarik utama dari Pantai Kenjeran Baru adalah Klenteng Sanggar Agung, Pagoda Tian Ti, dan waterpark.
Pemandangan yang menjadi titik sentral dari Pantai Kenjeran Baru, Surabaya adalah Jembatan Kenjeran. Objek wisata ini adalah jenis objek wisata air mancur menari atau dancing water.
Untuk memasuki kawasan Wisata Pantai Kenjeran Baru, pengunjung akan dikenakan tiket masuk Rp 15.000 per orang, dengan biaya parkir kendaraan mulai dari Rp 8.000 per kendaraan. Anda bisa berkunjung mulai dari pagi pukul 06.00 sampai jam 17.00 sore. Bagaimana Anda tertarik untuk kunjungi Pantai Kenjeran yang terletak sekitar 9 kilometer (km) dari pusat kota ini ?
Â
(Tito Gildas, Mahasiswa Universitas Indonesia)
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Menikmati Masjid Cheng Ho Surabaya Bernuansa Tionghoa
Masjid Muhammad Cheng Ho, ya nama masjid ini memang terdengar unik. Lalu, bagaimana dengan segala aksesori dan arsitektur yang ada di dalamnya?Â
Masjid ini merupakan hasil perpaduan dari budaya China dan Islam. Mengutip dari Buku Travelicious, Jalan Hemat, Jajan Nikmat karya Ariyanto, ada banyak orang China yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Jawa, salah satunya adalah Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho alias Sam Poo Kong, ia pun menganut agama Islam.
Cheng Ho bersama armadanya datang dari Yunnan, China Selatan, pada abad ke-15, tepatnya pada masa Dinasti Ming. Mereka masuk ke Jawa melalui Semarang, kemudian berkunjung ke Kerajaan Majapahit, dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Cheng Ho yang telah berperan besar dalam menyebarkan agama Islam. Masjid ini berada di belakang Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, tepatnya di Jalan Gading No.2, Surabaya, Jawa Timur.
Pembangunan masjid tersebut tidak lepas dari dukungan organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jawa Timur, juga dukungan dari warga sekitar. Lin Puk San, selaku Ketua Harian Masjid Cheng Ho, menyampaikan, tujuan berdirinya masjid ini yaitu sebagai tempat pendidikan, dan juga untuk memperkenalkan Cheng Ho kepada khalayak luas.
Masjid Cheng Ho berdiri di atas tanah seluas 21x11 meter dengan luas bangunan utama 99 meter persegi. Ornamen atap masjid ini dibentuk persegi delapan, sehingga menyerupai sarang laba-laba, karena bagi masyarakat Tionghoa, angka delapan merupakan angka keberuntungan, sedangkan sarang laba-laba merupakan tanda yang menyelamatkan Nabi Muhammad dari kejaran kaum Quraish.
Masjid ini didominasi oleh warna merah, hijau, dan kuning. Merah memiliki makna kebahagiaan, dan warna kuning artinya kedamaian. Ornamennya kental dengan nuansa Tiongkok lama, terlihat dari pintu masuknya yang menyerupai pagoda.
Anak tangga di pintu kanan dan kiri Masjid Cheng Ho berjumlah 5 dan 6. Angka-angka tersebut menyimbolkan rukun Islam dan rukun iman. Selanjutnya, pintu masjid ini di bangun tanpa menggunakan daun pintu, hal itu sebagai penanda bahwa Masjid Cheng Ho Surabaya terbuka untuk siapa saja.
Begitu damainya jika ada toleransi di antara semua orang. Tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan juga agama.
(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)
Advertisement