Sosiolog Unair Soroti Kasus Bocah SD Tunangan di Madura: Orangtua Harus Ubah Sudut Pandang

Bagong menyarankan, agar pemerintah bekerja sama dengan tokoh agama dan kelompok sekunder lainnya untuk mensosialisasikan hak anak.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 25 Apr 2024, 12:04 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2024, 12:04 WIB
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto. (Istimewa)
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto. (Istimewa)

Liputan6.com, Surabaya - Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto angkat bicara soal video viral pertunangan atau tradisi abekalan bocah Sekolah Dasar (SD) usia 7 tahun di Sampang Madura.

Bagong mengungkapkan, pemerintah telah berupaya melindungi anak-anak dari dampak negatif perkawinan dini. Salah satunya melalui pengesahan Undang-undang Perkawinan terbaru.

Menurutnya, pada Undang-Undang Perkawinan yang baru, tercantum batasan minimal usia menikah menjadi 19 tahun. Ini merupakan salah satu langkah maju untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki kesempatan mengembangkan diri dan melanjutkan pendidikan mereka.

“Saat ini jaman sudah berubah. Anak perempuan terutama memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Kalau bertunangan di usia dini, maka risiko menikah di usia dini menjadi besar. Kesempatan anak melanjutkan sekolah berpotensi terganggu,” ujarnya, Rabu (24/4/2024).

Bagong mengatakan, kesadaran akan hak anak harus menjadi prioritas. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya sosialisasi kepada orang tua tentang dampak dari tradisi ini.

“Orang tua memiliki hak atas anaknya untuk mengatur ini. Sebagai orang tua, mereka juga harus paham kewajiban terhadap anak dapat untuk memberikan masa depan yang terbaik," ucapnya.

"Maka dari itu. perlu dilakukan sosialisasi kepada orang tua mengenai hak anak dan dampak jangka panjang dari perjodohan dini," imbuh Bagong.

Bagong menyarankan, agar pemerintah bekerja sama dengan tokoh agama dan kelompok sekunder lainnya untuk mensosialisasikan hak anak.

“Indonesia masih sangat kental dengan nilai-nilai agama, dan keterikatan antara anak dan orang tua sangat erat dalam konteks ini. Pemerintah harus bijak dalam mengambil pendekatan yang efektif untuk mengubah mindset masyarakat,” ujarnya.

Bagong menekankan, pemerintah setempat harus meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui sosialisasi. Ia juga menyarankan agar pemerintah lokal di Madura dapat membuat peraturan daerah yang memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar.

“Anak harus mendapatkan pendidikan yang tepat di sekolah dan orang tua harus mengubah sudut pandangnya tentang perjodohan dini. Dengan adanya kesetaraan pola pikir ini, maka pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi lebih efektif,” ucapnya.

Penjelasan Orangtua Siswa SD yang Tunangan

Zahri, orangtua siswa SD yang tunangan mengatakan, anaknya berusia 7 tahun dan sudah sekolah kelas 1 SD, bukan berusia 4 tahun seperti yang tengah viral.

"Pertunangan tersebut mewujudkan ucapan kami saat di tanah suci Mekkah tahun lalu. Waktu itu, di depan Kabah istri saya hamil dan istri besan juga sedang hamil. Kemudian terucap kesepakatan untuk saling menikahkan bila yang lahir laki-laki dan perempuan. Jadi pertunangan kemarin merupakan bentuk ikatan tali silaturahmi agar tidak terputus," papar Zahri.

Meskipun sudah bertunangan, Zahri menegaskan bahwa kedua belah keluarga telah sepakat untuk menikahkan kedua anak tersebut setelah mereka sama-sama lulus kuliah.

"Jadi tidak langsung dinikahkan saat masih kecil. Kami sebagai orang tua juga ingin melihat anak-anak kami menjadi orang sukses dan melihat mereka bisa mewujudkan cita-citanya, "tegasnya.

Infografis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Jauh di Bawah Negeri Jiran. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Jauh di Bawah Negeri Jiran. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya