Selebtwit Jadi Sasaran Empuk Kampanye Hitam?

Selebtwit dinilai menjadi sasaran empuk bagi tim sukses kubu tertentu untuk membentuk opini di media sosial.

oleh Iskandar diperbarui 12 Jun 2014, 17:33 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2014, 17:33 WIB
Kampanye Hitam
(Antara Foto)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak tim sukses yang memanfaatkan jejaring media sosial untuk meraup suara di pemilihan umum calon presiden 2014. Namun sayang, banyak yang memanfaatkannya untuk menjatuhkan lawan - bukan untuk membangun pencitraan. 

Banyak strategi kampanye hitam membanjiri media sosial, seperti Twitter dan Facebook. Kebanyakan informasi negatif yang berkembang diramaikan isu rasial, agama, politik, hingga persoalan masa lalu pribadi kedua capres-cawapres.

Dalam hal ini para `selebtwit` dinilai menjadi sasaran empuk bagi tim sukses kubu tertentu untuk membentuk opini di media sosial. Selebtwit adalah istilah dalam dunia per-twitter-an yang diberikan kepada orang-orang yang terkenal di dunia Twitter dan memiliki jumlah follower banyak.

Yanuar Nugroho yang dikenal sebagai peneliti senior di bidang inovasi dan perubahan sosial di Universitas Manchester, Inggris, mengungkap bahwa selebtwit memang menjadi sasaran empuk tim sukses untuk menggelar kampanye di media sosial.

"Fenomena itu memang terjadi, tapi ingat bahwa tidak semua selebtwit memiliki pemikiran yang mendalam tentang dunia politik," kata Yanuar yang dihubungi tim Tekno Liputan6.com, Kamis (12/6/2014).

Ia menganalogikan, jika satu selebtwit dengan follower di atas 100 ribu, men-tweet atau me-retweet sesuatu yang tidak benar - jika itu dibaca oleh 100 ribu lebih follower-nya, tidak menutup kemungkinan mereka akan percaya begitu saja.

"Pengaruh selebtwit sangat besar. Apa saja yang di-tweet atau di-retweet bisa dianggap 'benar' oleh follower-nya," tambah pria yang juga berprofesi sebagai Asisten Ahli Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) ini.

Jika isi tweet atau retweet itu menjatuhkan lawan dengan pembunuhan karakter dan dilakukan oleh kedua kubu, lanjut Yanuar, maka akan terjadi demoralisasi warga. Situasi di mana warga negara atau pemilih merasa yakin bahwa tak ada lagi orang yang baik dan pantas memimpin negara.

"Hal itu tentunya akan melahirkan apatisme sosial atau apatisme warga saat pemenang pemilu berkuasa memegang pemerintahan. Tak akan ada lagi kestabilan, yang ada adalah upaya mempertahankan kuasa (dari yang menang) dan upaya merongrong kuasa (oleh yang kalah)," tutup Yanuar.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya