Selain Repeater, Jammer Ilegal Juga Bikin Pusing Operator

Penggunaan jammer, atau alat pengacak/blokir sinyal ponsel kini mulai tren di tempat-tempat ibadah.

oleh Adhi Maulana diperbarui 13 Jun 2014, 14:00 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2014, 14:00 WIB
Selain Repeater Ilegal, Jammer Ilegal Juga Bikin Pusing Operator
Jammer ponsel (technogeeks.com)

Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan repeater atau alat penguat sinyal jaringan seluler ilegal dilaporkan semakin jamak di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Harganya yang terbilang murah dan semakin mudah ditemukan ditengarai jadi alasan utama kenapa perangkat tersebut banyak digunakan tanpa izin yang sah.

Belakangan pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo, giat melakukan penertiban repeater ilegal. Dalam Pasal 38 UU Telekomunikasi No. 36/1999 disebutkan: setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 55 UU Telekomunikasi berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak 600 juta rupiah.

Namun menurut Division Head Network Architecture Indosat, Yune Marketatmo dalam diskusi dengan beberapa media, repeater ilegal bukan satu-satunya masalah yang dihadapi operator saat ini. Terdapat satu jenis perangkat 'pengganggu' lain yang kini juga mulai marak digunakan. Perangkat tersebut biasa disebut 'jammer', atau alat pengacak/blokir sinyal ponsel.

Yune memaparkan, penggunaan jammer kini mulai tren di tempat-tempat ibadah. Padahal biasanya jenis perangkat ini hanya umum digunakan di penjara, untuk memblokir jalur komunikasi para narapidana.

"Niatnya sih bagus, agar para pengunjung tempat ibadah bisa khusyu beribadah, tidak terganggu dengan nada dering ponsel. Namun jammer juga memiliki efek seperti repeater, bisa mengacaukan jaringan sinyal yang disediakan operator," kata Yune.

Menurut Yune, jammer juga berposisi seperti repeater, penggunaannya perlu disosialisasikan dan ditertibkan. Namun sayang, harganya yang murah dan dijual secara bebas membuat masyarakat merasa 'tak berdosa' untuk menggunakannya tanpa mengetahui adanya beban hukum yang harus ditanggung.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya