Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan software bajakan bukan hanya merugikan perusahaan di balik produk tersebut, tetapi juga konsumen sebagai pengguna. Salah satu efek negatif yang merugikan pengguna adalah rentan terkena serangan malware.
Dijelaskan oleh Software Asset Management and Compliance Director Microsoft Indonesia, Sudimin Mina, pengguna software tiruan atau bajakan sangat mungkin menjadi korban malware seperti virus dan ransomware. Menurut Sudimin, jika menggunakan software asli saja bisa menjadi korban, apalagi yang menggunakan produk bajakan.
Bila sudah disusupi oleh malware, pengguna harus siap-siap kehilangan data-data penting mereka. Pasalnya, salah satu target utama malware biasanya data-data pribadi. Bahkan hacker di balik malware itu bisa mengunci data tersebut dan meminta uang tebusan kepada si pemilik, jika ingin kembali mengaksesnya.
"Jika virus sudah bekerja, bisa membahayakan privasi. Bahkan data-data pribadi bisa dikontrol dari jarak jauh. Tapi yang harus diingat, pakai software apa pun, baik asli atau palsu, kita sebagai konsumen harus waspada dengan tidak mengunduh yang aneh-aneh," ujar Sudimin, di Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Menurut data yang dipublikasikan Microsoft Malware Infections Index 2016, tingkat pemalsuan PC di Indonesia masih tergolong tinggi. Indonesia menduduki posisi kedua di belakang Pakistan dengan tingkat infeksi virus malware tertinggi di Asia.
Baca Juga
Ditambahkan Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP), Justisiari P. Kusumah, masih adanya penggunaan software bajakan juga dipengaruhi tingkat kepedulian konsumen. Namun investasi awal yang lebih mahal dibandingkan jika menggunakan software bajakan, justru sebenarnya dapat lebih melindungi privasi konsumen. Terlebih lagi, saat ini perusahaan software seperti Microsoft memiliki sejumlah program software gratis yang salah satunya untuk pendidikan.
"Pakai software bajakan itu banyak ruginya. Apalagi begitu kita terhubung ke internet, risikonya langsung terbuka (jadi target malware, red.). Seperti orang pergi perang, tapi tidak membawa perlindungan sama sekali," tutur Justisiari.
Merujuk pada hasil survei MIAP dan Fakultas Ekonomi UI 2014 terhadap tujuh komoditas yang produknya banyak dipalsukan, software berada di posisi keempat. Hasil survei mencatat bahwa persentase produk palsu meliputi tinta printer 49,4 persen, pakaian 38,9 persen, barang dari kulit 37,2 persen, software 33,5 persen, produk kosmetik 12,6 persen, makanan dan minuman 8,5 persen, serta produk farmasi 3,8 persen. Total kerugian negara akibat peredaran barang palsu mencapai Rp 65,1 triliun.
Konsumen mulai melek software asli
Meski masih banyak pengguna software bajakan, Justisiari mengatakan jumlahnya mulai menurun selama beberapa tahun belakangan. Berdasarkan survei yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi Dan Masyarakat (LPEM UI) dan MIAP pada 2014, 38 persen responden ingin membeli software asli.
"Sebelum itu, antara 2010 sampai 2014, dari 500 responden belum tentu ada yang mau menggunakan software asli, tapi kini sudah ada 38 persen yang mau pakai. Jadi ada kenaikan yang cukup signifikan," kata Justisiari.
Salah satu faktor tumbuhnya penggunaan software asli yaitu makin banyak yang menyadari bahwa menggunakan produk asli lebih terlindungi, terjamin dan mendapatkan layanan lebih baik. Namun Justisiari mengingatkan konsumen untuk lebih berusaha melindungi diri sendiri, termasuk data-data mereka, entah saat menggunakan software asli atau bajakan. Misalnya saja, konsumen diimbau lebih teliti membaca apa saja yang ingin diakses oleh sebuah aplikasi sebelum dipasang di dalam perangkat.
"Kita harus lebih bisa melindungi diri sendiri. Namun semuanya itu tergantung dari diri kita sendiri, apakah mau taat hukum atau tidak (soal software bajakan, red.), serta kita juga harus lebih berhati-hati dan teliti saat menggunakan software," tutup Justisiari.
(Din/Why)
Advertisement