Liputan6.com, Jakarta - Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) meniai langkah pemerintah membatasi akses media sosial sebagai bentuk internet throttling atau pencekikan akses internet.
Hal ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam menjamin hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pembatasan internet ini merupakan salah satu bentuk internet shutdown, yang secara sengaja membatasi akses publik pada periode tertentu. Tujuannya, untuk mengekang kebebasan berekspresi.
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah menerapkan pembatasan media sosial terkait aksi demontrasi 22 Mei 2019. Sampai saat ini belum ada kejelasan batas waktu pembatasan tersebut.
SAFEnet pun menuntut pemerintah, untuk memastikan hak digital warganet Indonesia sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak akan terancam dengan pemberlakukan pembatasan internet ini.
"Kami menuntuk pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ke depannya langkah pembatasan internet bukan keputusan yang bisa semena-mena diterapkan dengan dasar 'demi keamanan negara' belaka, tanpa ada parameter yang jelas mengenai situasi darurat yang mendorong pemberlakukan pembatasan internet ini," ungkap SAFEnet dalam keterangan resminya, Sabtu (25/5/2019).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pemerintah Harus Transparan
Selain itu, SAFEnet juga meminta pemerintah untuk memberikan laporan transparan dan akuntabel atas keputusan pembatasan intenet ini kepada publik.
Hal ini termasuk dan tidak hanya terbatas pada alasan, parameter situasi darurat negara, dan dasar hukum.
"Namun juga beserta informasi akses dan wilayah yang dibatasi, durasi pembatasan internet, efektivitas pemberlakuannya, serta pengukuran dampak dari pemberlakuan pembatasan internet ini," sambung SAFEnet.
Pemerintah pun didorong untuk mencari langkah alternatif, sehingga dapat mencegah pemberlakukan pembatasan internet yang berdampak pada hak berkomunikasi dan kebebasan berekspresi Warga Negara Indonesia.
Kemudian, pemerintah juga harus mengusut dan menindak tegas pelaku penyebaran hoaks dan provokator ujaran kebencian, alih-alih membatasi perilaku warganet.
Untuk mengatasi penyebaran hoaks, pemerintah juga diimbau untuk bekerja sama dengan platform digital. Selain itu juga mengimbau masyarakat untuk tetap bijak dalam berinternet, dan tidak terprovokasi hoaks atau berbagai informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
"Pemerintah harus meminta platform digital, seperti perusahaan penyedia media sosial, untuk lebih keras dan responsif dalam menangani potensi penyebaran hoaks yang disertai ujaran kebencian dan bermuatan politis," kata SAFEnet.
Advertisement
Ratusan Internet Shutdown
Indonesia bukan yang pertama melakukan pembatasan internet. Menurut organisasi yang mengadvokasi hak digital di Asia Tenggara ini, ada 75 internet shutdown di seluruh dunia pada 2016.
Kemudian pada 2017, jumlahnya naik menjadi 108 dan meningkat menjadi 188 pada 2018. Mayoritas menggunakan alasan serupa dengan Indonesia, demi keamanan negara dan memperlambat penyebaran hoaks, meskipun efeknya dipertanyakan dan dampaknya, yang dinilai bahkan dapat memengaruhi kondisi ekonomi negara.
Seperti diketahui sebelumnya, pada Rabu siang (22/5/2019), banyak warganet mengeluh tidak bisa mengakses beberapa media sosial dan aplikasi chatting, termasuk Instagram dan WhatsApp, seperti biasanya.
Tak lama kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, mengatakan beberapa akses layanan internet dinonaktifkan untuk sementara, terutama layanan untuk pengiriman dan pengunduhan foto atau video lewat aplikasi chatting, seperti WhatsApp. Alasannya, untuk menghindari penyebaran berita bohong atau hoaks demi keamanan nasional.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara yang turut hadir menyebutkan pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap, serta dilakukan oleh lima provider telekomunikasi atas permintaan pemerintah.
Dasar pembatasan akses internet ini, menurut Rudiantara, sudah sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
(Din/Jek)