Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengumumkan sedang menanti respons publik untuk langkah-langkah akuntabilitas terkait aturan sistem kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Regulasi ini disiapkan atas kekhawatiran risiko dan dampak teknologi tersebut terhadap keamanan nasional dan pendidikan.
Baca Juga
Kesuksesan ChatGPT telah memicu pengawasan ketat terhadap teknologi AI dalam beberapa bulan terakhir. Sebab, kecanggihannya dalam menjawab permintaan dan pertanyaan dengan cepat mampu menarik 100 juta pengguna aktif bulanan.
Advertisement
Pencapaian tersebut menjadikannya sebagai aplikasi konsumen dengan tingkat pertumbuhan tercepat dalam sejarah. Meski memicu optimisme tentang pemanfaatan teknologi, alat semacam ini masih memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian.
Mengutip New York Post, Kamis (13/4/2023), badan dari Departemen Perdagangan, Administrasi Telekomunikasi dan Informasi Nasional (NTIA), memerlukan masukan publik guna pengujian kepercayaan dan keamanan perusahaan AI.
Langkah ini pun diharapkan akan membantu pemerintah memastikan alat AI berfungsi dengan seharusnya sesuai klaim pengembang, tanpa menimbulkan potensi bahaya.
Kepala NTIA Departemen Perdagangan, Alan Davidson, menyatakan bahwa keamanan sistem AI yang dapat dipercaya penting untuk mencapai manfaat sepenuhnya.
“Sistem AI yang bertanggung jawab dapat membawa manfaat yang sangat besar, tetapi hanya jika kita mengatasi potensi konsekuensi dan kerugiannya,” ungkap Davidson.
Para Pembuat Kebijakan Tinjau Ancaman AI
Ketika ditanya minggu lalu tentang ancaman yang ditimbulkan teknologi ini, Presiden Joe Biden mengatakan bahwa potensi AI yang dapat membahayakan publik masih harus ditinjau.
“Menurut saya, perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab untuk memastikan produk mereka aman sebelum dipublikasikan,” ujar Biden, dikutip dari New York Post, Kamis (13/4/2023).
Tak hanya di Amerika, risiko yang ditimbulkan AI juga menarik perhatian regulator di China. Sebuah badan pengawas utama, Cyberspace Administration of China, meluncurkan rancangan pedoman untuk mengatur sistem “AI generatif”.
Selain melakukan tinjauan keamanan layanan, badan tersebut juga akan memastikan bahwa perusahaan pengembang alat AI bertanggung jawab atas keakuratan konten mereka. Menurut Bloomberg, perusahaan juga dituntut untuk transparan tentang kumpulan data yang digunakan untuk melatih alat semacam ini.
Perusahaan yang tidak mematuhi pedoman pun dapat menghadapi denda atau bahkan pemeriksaan pidana.
Advertisement
OpenAI Dukung Regulasi Pemerintah tentang Pengembangan AI
OpenAI, perusahaan dukungan Microsoft yang bertanggung jawab mengembangkan ChatGPT, telah mengisyaratkan bahwa mereka mendukung regulasi pemerintah untuk teknologi AI.
Dalam postingan blognya yang diunggah 5 April lalu, OpenAI menyebut, mereka percaya bahwa sistem AI yang kuat harus tunduk pada evaluasi keamanan yang ketat.
“Peraturan diperlukan untuk memastikan bahwa praktik semacam itu diadopsi, dan kami secara aktif terlibat dengan pemerintah dalam bentuk terbaik yang dapat diambil oleh peraturan tersebut,” tulis perusahaan.
Di sisi lain, Elon Musk bersama lebih dari seribu pakar telah mendesak jeda pengembangan AI tingkat lanjut melalui sebuah surat terbuka. Langkah ini dilakukan mengingat risiko besar yang ditimbulkannya, mulai dari penyebaran disinformasi yang tak terkendali hingga ancaman tergantikannya tenaga kerja manusia.
Sementara itu, beberapa pakar lain berpendapat bahwa jeda tidak akan mengatasi masalah mendasar terkait pengembangan AI. Mantan CEO Google, Eric Schmidt, mengatakan jeda enam bulan hanya akan menguntungkan China dalam perlombaan untuk mendapatkan keuntungan di sektor yang sedang berkembang ini.
ChatGPT Bisa Dipakai Bikin Email Phishing yang Mirip Buatan Manusia
Sebuah demonstrasi dari peretasan manusia dengan AI-as-a-service (Hacking Humans with AI as a Service) mengungkapkan, AI mampu membuat serangan siber seperti email phishing yang lebih baik dan pesan spear phishing yang sangat efektif daripada manusia.
Hal itu seperti diungkap dalam konferensi keamanan Black Hat dan Defcon baru-baru ini, seperti dikutip dari siaran pers Palo Alto Networks, Senin (10/4/2023).
Di situ, para peneliti menggunakan platform GPT-4 OpenAI yang dikombinasikan dengan produk AI-as-a-service lain, yang berfokus pada analisis kepribadian, menghasilkan email phishing yang disesuaikan dengan latar belakang dan karakter kolega mereka.
Para peneliti pun berhasil mengembangkan sebuah saluran yang dapat membantu menyempurnakan email phishing sebelum mencapai targetnya.
Lebih mengejutkan, platform tersebut juga secara otomatis memberikan informasi yang spesifik, misalnya menyebutkan hukum atau undang-undang Singapura, ketika diinstruksikan untuk membuat konten yang ditujukan untuk masyarakat di negara itu.
Palo Alto Networks pun menyebut, pembuat ChatGPT dengan jelas menyatakan bahwa alat yang digerakkan AI ini memiliki kemampuan bawaan untuk menentang premis yang salah serta menolak permintaan yang tidak etis.
Advertisement