Liputan6.com, Jakarta Pelaku usaha industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengeluhkan kerap tak memperoleh suplai bahan baku dari hasil pengolahan minyak mentah di kilang PT Pertamina (Persero).
Padahal minyak mentah akan bernilai tambah jika diolah untuk produk petrokimia ketimbang menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Wakil Ketua Inaplas, Suhatmiyarso mengatakan, porsi olahan minyak mentah yang dialokasikan untuk industri petrokimia sekitar 10%-15% dari satu unit kilang dengan kapasitas 300 ribu barel per hari.
"Petrokimia dari sisi hulu sering tidak dapat karena dipakai Pertamina seluruhnya untuk mengolah menjadi BBM. Paling kalaupun dialokasikan cuma sekali sekitar 25 ribu ton, itupun kalau ada sisa," ujarnya di Jakarta, Rabu (12/3/2014).
Inaplas, tambah Suhatmiyarso, menilai industri petrokimia seolah menjadi anak tiri pemerintah karena pemerintah selalu memprioritaskan pengolahan BBM ketimbang memasok industri ini.
"Iya (anak tiri), karena prioritas BBM lebih tinggi meskipun industri petrokimia juga penting karena menghasilkan produk bernilai tambah besar," jelasnya.
Suhatmiyarso menyebut, harga pengolahan minyak mentah menjadi bahan baku petrokimia akan melompat tinggi daripada minyak diproduksi untuk BBM.
"Harga minyak mentah misalnya US$ 90-US$ 100 per barel atau US$ 900 per ton. Kalau jadi bahan baku jenis Naftha, harganya bisa US$ 1.100 per ton dan harga akan melambung saat menjadi karet sintetis sebesar US$ 3.000 per ton. Jadi nilai tambahnya lebih bisa dinikmati banyak industri dan masyarakat, daripada jadi BBM dibakar lalu hilang," jelasnya.
Dia mendesak supaya pemerintah segera merealisasikan pembangunan kilang minyak secara bertahap. Investasi kilang senilai Rp 90 triliun.
"Kan bangunnya 3-4 tahun, jadi pemerintah bisa realokasi anggaran subsidi untuk bangun kilang yang setiap tahun butuh investasi besar. Setiap tahun keluarin US$ 10 miliar kan tidak masalah," ujarnya.