Liputan6.com, New York Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama terus menyerukan pentingnya kenaikan gaji bagi para pegawai federal yang baru dikontrak lembaga-lembaga pemerintahan di sana.
Sayangnya, profesor ilmu ekonomi terapan di Johns Hopkins University, Steve H. Hanke mengatakan, keputusan Obama untuk menaikkan upah pegawai justru akan memicu tingkat kemiskinan yang semakin tinggi dan menutup lowongan pekerjaan.
Seperti dikutip dari South China Morning Post, Senin (31/3/2014), ungkapan Hanke tersebut diperkuat dengan adanya pernyataan Gubernur Bundesbank Jens Weidman, kenaikan upah pegawai dapat mengganggu pasar tenaga kerja.
Advertisement
Tak hanya itu, langkah peningkatan upah pegawai dapat memicu pengurangan jumlah lowongan tenaga kerja secara drastis. Benar memang, hasil penelitian Duke University pada sejumlah manajer keuangan di seluruh dunia menemukan, kenaikan upah pegawai di AS juga dapat menghapus banyak lowongan pekerjaan.
Hanke mengatakan, tragedi yang sesungguhnya dari peraturan kenaikan upah pegawai adalah undang-undang itu didukung banyak pihak yang ingin menurunkan tingkat kemiskinan. Ironisnya, masyarakat yang paling terluka karena kenaikan upah pegawai adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Isu kenaikan upah pegawai akan mendorong banyak pengusaha melakukan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya tingkat pengangguran meningkat dan banyak penduduk yang akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Hasil penelitian itu juga menunjukkan adanya kemungkinan korban PHK akan semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan. Singkatnya, prospek kehilangan kekayaan sangat tinggi sementara kesempatan memperoleh kerja semakin menciut.
Hanke mengatakan, tak hanya di AS, isu kenaikan upah juga menggema dari negara maju seperti Jerman atau negara berkembang seperti Indonesia. Isu tersebut semakin lama semakin berkembang dan masih belum terselesaikan hingga kini.