Pengusaha Akui Biaya Produksi di RI Lebih Murah dari Singapura

Kenaikan harga gas, BBM maupun tarif listrik sebesar berapapun akan berpengaruh terhadap biaya distribusi perusahaan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Sep 2014, 14:27 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2014, 14:27 WIB
Pertamina Klaim Kenaikkan Harga Elpiji Tak Pelu Izin SBY
PT Pertamina akan menaikkan harga gas elpiji 12 kg pada pertengahan Agustus 2014, dan akan terus dilakukan sampai mencapai harga keekonomian secara bertahap hingga 2016, Jakarta, Rabu (13/8/2014) (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Jika sejumlah pihak menentang kenaikan harga elpiji non subsidi ukuran 12 kilogram (Kg) baru-baru ini, namun tidak dengan pengusaha steak Holycow, Afit D Purwanto. Dia berusaha untuk memahami kondisi PT Pertamina (Persero) yang terpaksa menaikkan harga lantaran menanggung rugi.

"Saya bisa mengerti, karena harga gas dan bahan bakar minyak (BBM), listrik di Indonesia tidak ada apa-apanya dibanding negara lain, seperti Singapura," ungkap Afit saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (21/9/2014).

Pria berkepala plontos ini mengisahkan pengalamannya saat membuka outlet steak di Singapura. Ongkos produksi di negeri Singa itu jauh lebih tinggi daripada di Indonesia.

"Harga gas di Indonesia misalnya cuma Rp 5.000 tapi di Singapura bisa Rp 25 ribu per tabung. Jadi memang beda beberapa kali lipat sehingga cost overhead tinggi sebab kita masih menikmati subsidi dari pemerintah, sehingga memperoleh harga yang murah," tutur dia.

Meski demikian, Afit mengaku, kenaikan harga gas, BBM maupun tarif listrik sebesar berapapun akan berpengaruh terhadap biaya distribusi perusahaan walaupun jangka waktunya hanya sesaat sekitar 3 bulan.

"Tahun lalu, kami sudah menaikkan harga steak dua kali dan tahun ini sekali karena ada penyesuaian harga elpiji 12 kg. Kalau pengaruh kenaikan BBM subsidi kecil, tapi untuk elpiji sangat berefek karena langsung bersentuhan dengan dapur dengan harga bahan baku membengkak," jelasnya.

Dengan begitu, dia bilang, hanya ada dua cara untuk tetap bertahan menghadapi gempuran penyesuaian harga elpiji, BBM atau listrik. Pertama, efisiensi di biaya operasional dengan risiko menurunkan profit dan kedua, menaikkan harga produk.

"Menaikkan harga produk jadi jalan terakhir, apabila kami sudah tidak mampu berkalkulasi atau mentok. Tapi tentu tidak tergesa-gesa karena kami harus mengutamakan kepuasan dan memperhatikan daya beli konsumen. Makanya kami perlu review kenaikan harga elpiji baru-baru ini," terang Afit.

Dia berharap, agar pemerintah dapat mensosialisasikan setiap kebijakan agar pengusaha dapat berhitung dengan cermat jauh-jauh hari.

"Kalau mendadak kan bikin pusing, kami tidak bisa setting harga dan forecast ke depan. Kami juga tidak bisa naikkan harga sesukanya, karena bisa saja pelanggan kabur, penjualan menurun," pungkasnya. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya