Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai tidak memiliki keberhasilan dalam sektor energi. Pengamat energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa mengatakan, hal tersebut dapat terlihat dengan terus membengkaknya subsidi untuk energi, khususnya untuk listrik.
"Secara keseluruhan subsidi listrik meningkat berkali lipat. Dalam 10 tahun ini kenaikannya dari Rp 3 triliun menjadi Rp 101 triliun itu baru listrik. Belum subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM)," kata Iwa saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, seperti yang dikutip Sabtu (18/10/2014).
Selain itu, lanjut Iwa, rencana pengurangan BBM melalui program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) dan meningkatkan kandungan bahan bakar nabati (BBN) di era Presiden SBY tidak berjalan optimal, sehingga tidak ada hasil yang memuaskan di akhir masa jabatannya.
Advertisement
"Dari konversi BBM ke BBN. Konversi BBM ke gas, itu masa tidak ada yang jalan," ungkapnya.
Namun menurutnya, kegagalan Presiden yang telah menjabat selama dua periode kabinet tersebut bukan semata-mata kesalahannya. Namun juga kesalahan Kementerian dan sistem perintahannya.
"Jangan disalahkan SBY sebagai Presidennya, tapi juga kementeriannya atau sistem pemerintahannya," tuturnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resouces Study (IRESS) Marwan Batubara juga menilai pemerintahan Presiden SBY banyak tidak berhasil di sektor energi. Ia menyebutkan, salah satu bukti kegagalan itu adalah pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, dengan target bauran energi sebesar 25 persen pada 2025. Namun, sampai saat ini bauran energi Indonesia masih diangka 6 persen.
Menurut Marwan, Indonesia akan kesulitan mencapai target tersebut, jika sampai delapan tahun kebijakan tersebut diterbitkan tidak ada peningkatan yang berarti.
"Artinya 8 tahun lalu kita sudah punya kebijakan energi tapi cuma di atas kertas dalam praktiknya jauh. Misalnya di bauran energi hanya 6 persen selama bertahun-tahun ya segitu. Padahal target 2025 mau jadi 25 persen dalam 8 tahun sejak Inpres diterbitkan," pungkasnya. (Pew/Ndw)