BPS: Waspadai Impor China, Bukan Malaysia

Indonesia hanya perlu mewaspadai impor dari China, bukan Malaysia, kenapa?

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Sep 2015, 08:01 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2015, 08:01 WIB
Ekspor Impor 5 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar beberapa mata uang seperti China dan Malaysia menimbulkan kekhawatiran bakal terjadi serbuan barang impor kedua negara tersebut masuk ke Indonesia. Sebab, harga produk dari China dan Malaysia akan semakin murah dan memiliki daya saing di pasar global.

Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, Indonesia hanya perlu mewaspadai impor dari China, bukan Malaysia.

"Waspadai impor dari China, kalau Malaysia tidak terlalu mengganggu. Karena kita punya harga dan kualitas yang tidak kalah bersaing dari Malaysia," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (2/9/2015).

BPS sebelumnya mengimbau agar Indonesia mewaspadai sebuan barang konsumtif asal China seperti ponsel, laptop, mainan anak-anak dan sebagainya. Alasannya, dengan depresiasi yuan, harga produk-produk tersebut semakin murah dan kian membanjiri pasar dalam negeri.

Dari catatan BPS, nilai impor non migas Indonesia ke China mencapai 24,04 persen sepanjang Januari-Juli 2015. Nilainya mencapai US$ 16,5 miliar pada periode tersebut. Angka ini menurun dari realisasi periode yang sama sebelumnya sebesar US$ 17,3 miliar.
 
Sasmito menyarankan agar pemerintah memacu kinerja ekspor ke China mengingat ada peluang besar untuk memasukkan produk-produk unik asal lokal ke pasar Negeri Tirai Bambu. Indonesia, katanya, bisa memanfaatkan jumlah penduduknya yang besar, banyak taipan atau masyarakat kelas atas.

"Saya baru pulang dari China, peluang pasar di sana besar. Simpel saja, ekspor perhiasan batu akik karena di China masih bersifat tradisional perhiasannya. Barang-barang kita unik, orang kaya di sana banyak, jumlah penduduk 1,4 miliar, tinggal penetrasi saja," jelas dia.

Menurutnya, konsumsi masyarakat China sangat besar. Sebut saja konsumsi baja yang mencapai 30 persen-40 persen dari total konsumsi di dunia. Pemerintah, kata Sasmito, perlu mendorong pemasaran merek-merek produk unik lokal yang berpotensi mendunia.

"China itu lahap, apa saja dikonsumsi. Kita kan punya banyak pengusaha keturunan Tionghoa dan partner-partner dagang di China, manfaatkan jaringannya untuk membuka akses pasar di sana," terang Sasmito.(Fik/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya