Pemerintah Ungkap Alasan BI Tetap Pertahankan Suku Bunga Acuan

BI tetap bertahan pada suku bunga tinggi karena alasan fluktuasi nilai tukar rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Nov 2015, 21:36 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2015, 21:36 WIB
20150929- Paket Kebijakan Ekonomi Tahap II-Jakarta
Menko bidang Perekonomian Darmin Nasution memberikan keterangan pers terkait kebijakan ekonomi tahap II, Jakarta, Selasa (29/9/2015). Paket kebijakan tahap dua difokuskan pada industri, keuangan dan ekspor. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pihak, termasuk pemerintah, menyarankan kepada Bank Indonesia (BI) agar mau menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini masih berada di level 7,5 persen. Alasan pemerintah mendorong agar BI bisa menurunkan BI Rate karena realisasi pergerakan inflasi tahun ini cukup terkendali, sehingga ada gap antara BI Rate dengan inflasi sangat jauh.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, pencapaian deflasi pada Oktober ini sebesar 0,08 persen semakin memicu jarak Real Interest Rate (RIR) kian besar. RIR merupakan selisih antara BI rate dengan inflasi.

"Nanti akhir tahun ini inflasi di bawah 4 persen atau 3,6 persen lah. Padahal BI Rate-nya 7,5 persen, jadi ada selisihnya sekitar 4 persen. Tidak pernah itu. Biasanya bedanya cuma 1 persen," tegas Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, malam ini (2/11/2015).

Dengan gap ini, katanya, otoritas moneter, BI mempunyai ruang untuk menurunkan BI Rate. Hanya saja Darmin mengaku, BI tetap bertahan pada suku bunga tinggi karena alasan fluktuasi nilai tukar rupiah.

"Kalau dilihat itu (gap), tingkat bunganya ada ruang untuk turun. Tapi kenapa tidak turun? Dia (BI) masih takut sama goyang-goyangnya rupiah, kurs rupiah masih agak volatile," terang Mantan Gubernur BI itu.

Ia mengatakan, jika selisih antara BI Rate dan inflasi terlalu lebar, imbasnya ke perekonomian Indonesia adalah orang akan lebih senang menyimpan uangnya ketimbang melakukan pinjaman ke perbankan nasional. "Kalau RIR membesar, orang lebih senang simpan uang ketimbang meminjam," tandas Darmin.

Sebelumnya, BI menegaskan masih ada ruang untuk menurunkan suku bunga acuan. Hal ini dilihat dari data ekonomi makro Indonesia yang sudah dihimpun dan dihitung oleh otoritas moneter ini dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pertengahan Oktober lalu.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengungkapkan, pelonggaran kebijakan moneter, termasuk menurunkan BI Rate yang saat ini masih berada di level 7,50 persen, harus mempertimbangkan sisi fundamental ekonomi dalam negeri.

Dari data yang ada, masih telah ada perbaikan ekonomi meskipun belum terlihat tinggi. "Itu terlihat dari inflasi yang sebelumnya di kisaran 4 persen plus minus 1 persen atau 4,3 persen, ternyata bisa di bawah 4 persen akhir tahun ini. Bahkan kalau bisa dipertahankan akan menyentuh 3,6 persen," ujar dia.

Melongok data ekonomi makro yang lain, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), tambah Agus, diperkirakan bakal menyempit di kisaran 2 hingga 2,1 persen pada akhir 2015. Proyeksi angka ini lebih rendah dibanding pencapaian tahun lalu sebesar 3,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Kondisi ini juga didukung neraca perdagangan yang surplus sejak Januari-September 2015. Ini konsisten menunjukkan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia," tegasnya.

Kata Agus, risiko pelemahan ekonomi global masih akan terus berlanjut. Ekonomi Amerika Serikat (AS) belum solid, sedangkan untuk China juga belum memperlihatkan perbaikan. Di luar itu, harga komoditas cenderung menurun.

Dia mengaku ada beberapa hal untuk mewaspadai perkembangan eksternal. Pertama, Mantan Menteri Keuangan ini mengatakan, pertumbuhan ekonomi China kecenderungannya melambat. Imbasnya, Agus bilang, sangat signifikan terhadap perekonomian dunia dan negara-negara berkembang.

"Mata uang China mau diinternasionalisasikan, jadi mata uangnya dikelola moneter, independen dengan capital account terbuka. Tentu ini ada risiko khusus dalam perlaksanaan dengan mempertimbangkan dolar AS menguat dan upaya China menjaga pertumbuhan ekonominya tidak menurun lebih besar," ucap dia.

Kedua, normalisasi kebijakan The Federal Reserves soal kepastian kenaikan tingkat bunga Bank Sentral AS menjadi perhatian Indonesia di tahun ini atau tahun depan. Ketiga, tantangan berlanjutnya penyesuaian harga komoditas. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya