Liputan6.com, Jakarta Saat ini tengah terjadi perdebatan tentang validitas data pangan. Sebelumnya, sejumlah kalangan ramai meragukan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang merupakan lembaga resmi negara untuk mengola dan mengeluarkan data sebagai acuan pengambilan keputusan kebijakan pembangunan.
Akibat kondisi tersebut, BPS tidak tinggal diam untuk menerima selalu disalahkan. BPS, kini melempar kesalahan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) yang mengeluarkan data mentahnya. Hal ini disampaikan BPS dalam acara Workshop Wartawan, Rabu (25/11/2015).
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kemtan Hasil Sembiring mengatakan Kementan sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dalam mendorong peningkatan produksi pangan saja dan pemberdayaan petani, bukan lembaga yang mengolah dan mengeluarkan data.
Advertisement
Hasil mengaku, Kementan hanya turut berkontribusi melakukan upaya memperbaiki data pangan. Pada tahun 2015, mulai bulan Juni sampai November 2015, Kementan menggelontorkan dana sebesar Rp 49 miliar untuk memberikan pelatihan terhadap tenaga-tenaga survei di lapangan, mulai dari kabupaten dan provinsi. Kementan juga membelikan alat ubinan padi, dan alat-alat pendukung lainnya, sampai dengan menambah honor dan melakukan sejumlah kegiatan yang sifatnya penyegaran bagi petugas di lapangan.
"Jadi, Kementan itu tidak mengeluarkan data. Data yang diterima Kementan itu dari dinas pertanian di kabupaten dan provinsi, malah Kementan membantu memperbaiki data-data pangan tersebut. Di kabupaten sampai kecamatan pun ada petugas statistik dari BPS yang mengumpulkan data sebagai sumber BPS menghasilkan data," ujar Hasil di Kementan, Kamis (26/11).
Sementara itu, Direktur Pembangunan Pangan dan Energi, Indonesia Development Monitoring (INDEM), Razikin Juraid, mengatakan bahwa berkaitan dengan polemik validitas data pangan, semestinya semua pihak harus membuka mata pada fakta bukan terpaku pada informasi data yang dihasilkan dari sebuah pendekatan metodologi akademis.
Menurutnya, Kementan selama pemerintah Jokowi-JK telah berhasil melahirkan prestasi besar. Yaitu berhasil meningkatkan produksi padi nasional sehingga tidak ada impor beras selama satu tahun pemerintah Jokowi-JK. BPS sendiri telah merilis Angka Ramalan (ARAM) II, bahwa produksi padi di tahun 2015 sebesar 74,9 juta ton.
“Fakta lain, sampai saat ini tidak ada terjadi bencana kelaparan dan lonjakan harga beras akibat stok beras menipis. Bahkan tidak ada rakyat dari Sabang sampai Merauke yang teriak soal stok beras tidak ada dan harga tinggi,”kata Razikin.
Untuk itu, Razikin menyayangkan sikap BPS yang cuci tangan terhadap tugas, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai lembaga resmi pemerintah dalam menghasilkan data akurat sebagai rujukan pengambilan kebijakan negara dalam segala aspek.
“Sikap BPS ini sangat berbahaya dalam pembangunan suatu negara karena menyangkut kredibilitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah. Sebab, tidak ada lagi lembaga yang dipercaya masyarakat soal kebenaran data. Ini sangat berpotensi membuat kegaduhan nasional Karena semua pihak merasa paling benar akan datanya,” tegas Razikin.
Razikin menambahkan, sikap cuci tangan BPS ini pun tidak hanya membahayakan pembangunan sektor pertanian, namun dapat menyebabkan juga kesalahan pengambilan kebijakan pada semua instansi negara. “Kalau sudah seperti ini, negara tidak lama lagi akan hancur,” tegasnya.
(Adv)