Liputan6.com, Jakarta Dewan Energi Nasional (DEN) menyarankan agar pemerintah membuat aturan baru yang akan dijadikan dasar hukum dalam memungut dana ketahanan energi dari bahan bakar minyak (BBM).
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menyangkut pelaksanaan premi pengurasan atau depletion premium tidak sesuai dengan pungutan dana ketahanan negeri yang diumumkan oleh pemerintah. Pasalnya dana ini dipungut dari hilir yaitu konsumen bukan di sektor hulu yaitu produsen.
"Definisi depletion premium adalah dana yang disisihkan dan diambil dari eksploitasi sumber daya energi, yaitu pungutan pada sisi hulu dalam proses industri enegi fosil yang dibebankan kepada produsen," ujarnya di Jakarta, Rabu (30/12/2015).
Menurut Rinaldy, pemerintah perlu membuat aturan baru sebagai payung hukum dari pungutan ini. Sebab jika mengandalkan pada Undang-Undang (UU) Energi atau PP Nomor 79 Tahun 2014, maka pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Â
Baca Juga
"Dasar hukum dalam konteks kata-kata dana ketahanan energi memang tidak disebutkan. Tapi kata-kata pemerintah boleh memungut dana untuk ketahanan energi itu sudah ada. Jadi memang perlu ada peraturan tambahan. Kita tidak mengusulkan revisi, tapi aturan baru untuk memperkuat, harus ada dukungan peraturan tambahan supaya lebih rinci," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komite Eksplorasi Nasional Andang Bachtiar berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan aturan yang bisa menjadi payung hukum dalam proses pungutan dana ketahanan energi saat diberlakukan pada 5 Januari 2016.
"Mungkin juga dalam waktu singkat ini, dalam waktu 5-7 hari mau dibikin itu, dan nampaknya sudah konsinyiasi, jadi mungkin juga PP baru atau Perpres, atau Perppu. Makanya aturan pemungutan dan pelaksanaannya seperti apa, kan harus dibikin di situ," kata dia.
Jika aturan tersebut tidak siap saat pungutan tersebut diberlakukan nanti, maka pemerintah sementara bisa menggunakan laba bersih minyak (LBM) melalui mekanisme APBN.
"Kalau nggak makanya short cut-nya lewat mekanisme APBN saja, LBM. Tapi itu pun mungkin kelewatan tanggal 5, kan (DPR) reses kan. Baru tanggal 11 baru masuk," tandasnya. (Dny/Ndw)
Advertisement