Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesia National Air Carrier Association (INACA) akan mengambil pasar penerbangan kargo Singapura, Thailand dan Vietnam dengan diberlakukannya liberalisasi penerbangan ASEAN (ASEAN Open Sky).
Ketua Inaca Bidang Kargo, Boyke P Soebroto mengatakan,‎ sebelum diberlakukannya ASEAN Open Sky, penerbangan kargo di kawasan Asia Tenggara dikuasai oleh tiga negara tersebut. Namun dengan adanya ASEAN Open Sky, maskapai Indonesia ingin mengambil pasar yang telah dikuasai oleh tiga negara tersebut.Â
"Saat ini peta hub Kargo di ASEAN fokus tiga negara. Pertama Singapura, kedua Thailand, ketiga Vietnam," kata Boyke, di Jakarta, Jumat (8/1/2016).
Boyke mengungkapkan, dengan dikuasainya penerbangan kargo oleh tiga negara tersebut, barang yang dibawa ke Indonesia atau dari Indonesia biasanya masuk bandara dari tiga negara tersebut terlebih dahulu. "Barang yang mau masuk ke Indonesia harus melalui tiga itu," tutur Boyke.
Baca Juga
Dengan diberlakukannya ASEAN Open Sky di awal 2016 ini, barang yang keluar masuk Indonesia mengunakan transportasi udara bisa langsung ke negara tujuan.‎ Sehingga proses keluar masuk barang bisa lebih singkat. "Bayangkan dengan ada‎ open sky membuat kesempatan penerbangan kargo Indonesia untuk masuk langsung ke pusat industri ASEAN untuk impor atau ekspor ke kota-kota. Akhirnya kita harapkan nanti tiga kota itu tidak jadi hub karena sudah terpecah," pungkasnya.
Sebelumnya, Pengamat Penerbangan Universitas Gadjah Mada Arista Admadjati mengatakan pemerintah harus melindungi maskapai nasional agar bisa bertahan saat dibukanya era penerbangan bebas (open sky). Arista menjelaskan, perlindungan tersebut adalah berupa perangkat regulasi yang bisa memproteksi maskapai tanah air.
Perlindungan bagi industri penerbangan nasional dinilai penting, terutama bagi yang tidak bermodal besar. Hal itu dikarenakan, Indonesia merupakan pasar yang empuk untuk penerbangan asing. "Ya nggak menang, masalahnya market-nya empuk," kata dia.
Dia mencontohkan kebijakan tersebut seperti yang pernah dilakukan Myanmar yakni menolak sambungan dari salah penerbangan asing. Karena, waktu itu Myanmar belum merasa perlu. Hal sama juga terjadi ketika Kanada mendapat tawaran dari Emirates. "Karena di posisi empuk, harus terikat perjanjian melindungi kepentingan sendiri," paparnya.
Untuk membuat kebijakan memang memungkinkan. Namun menurut dia, hal tersebut berat mengingat perkembangan penerbangan nasional tertekan keadaan fundamental perekonomian nasional yang belum stabil.
"Memang kondisinya tidak menguntungkan, rupiah melemah, harga avtur. Mesti harus cerdas. Misalnya bebas dari Singapore Airlines. Mereka kuat semua," tutup dia. (Pew/Gdn)
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6