Liputan6.com, Jakarta - Seluruh negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Indonesia resah dengan praktik menghindari pajak melalui pelarian keuntungan (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).
Dampaknya, penerimaan pajak kurang maksimal sehingga Negara mengandalkan utang untuk menutup defisit anggaran.
Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengatakan, isu pajak menjadi pembahasan tingkat dunia lantaran maraknya praktik BEPS yang dilakukan para konglomerat maupun perusahaan multinasional.
Mereka sengaja menghindari pajak dengan melarikan keuntungan atau laba dari Negara tempatnya beroperasi menuju negara-negara surga pajak (tax havens).
"Kita harus memperbesar basis pajak, tapi sayangnya pajak penghasilan (PPh) keuntungan tidak terbayarkan salah satunya karena profit shifting. Indonesia dan seluruh negara lain mengalami hal ini, sehingga sekarang dunia komplain susah mendapatkan penerimaan pajak maksimal," ujar dia di Jakarta, Senin (23/5/2016).
Baca Juga
Baca Juga
Bahkan Bambang mengungkapkan, otoritas pajak Amerika Serikat (AS), Internal Revenue Service (IRS) yang sangat kuat dan sistem canggih kesulitan menangani praktik BEPS. Dia menceritakan, banyak perusahaan multinasional di AS mangkir menyetor pajak dan memindahkan basis pajak ke negara suaka pajak.
AS, sambungnya, dikenal dengan lingkaran negara surga pajak, seperti British Virgin Islan (BVI), Cayman Island, Bahama, Bermuda, dan Panama sehingga sangat mudah bagi orang-orang kaya maupun perusahaan besar di AS menyimpan harta dan aset di negara-negara tersebut.
"IRS di AS, dan negara-negara maju pun frustasi, menyerah dengan rendahnya penerimaan pajak yang mereka dapatkan," ujar Bambang. Â
Akhirnya, dia bilang, hampir semua negara mengandalkan penerbitan surat utang maupun mencari pinjaman sebagai pembiayaan untuk menutup defisit anggaran. Saat ini, Bambang mengaku, hampir seluruh negara mengalami defisit anggaran ketika harga komoditas dunia anjlok.
"Hampir semua negara defisit anggaran baik dari nominal maupun rasio terhadap PDB. Bahkan banyak negara yang defisit anggarannya melebihi Indonesia 2,5 persen dari PDB pada tahun lalu. Jadi susah menemukan negara dengan surplus anggaran sehingga yang berkembang adalah surat utang untuk pembiayaan karena susah mendapat penerimaan pajak yang maksimal," ujar dia. (Fik/Ahm)
Advertisement