Ternyata Ini yang Bikin Harga Daging Sapi Mahal

Harga daging sapi masih mahal. Apa penyebabnya?

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Agu 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2016, 18:00 WIB
20160805-Pedagang Daging Sapi-Jakarta- Angga Yuniar
Sejumlah daging sapi yang siap dijual di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (5/8). Pemerintah mencabut ketentuan kewajiban importir daging untuk menyerap daging lokal sebanyak tiga persen dari total kuota impor yang diperoleh. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengakui, salah satu biang kerok tingginya harga daging sapi di pasar tradisional karena mata rantai distribusi yang panjang dari peternak sampai ke tangan konsumen. Kondisi ini terjadi pada alur perdagangan sapi-sapi lokal sehingga menyedot biaya tinggi dan akhirnya konsumen yang menjadi korban.

"Mata rantai yang panjang itu untuk sapi lokal dari daerah. Tahapannya dari blantik lalu calo di pasar, kemudian yang nyangkut dan menampung, serta yang mengambil beda lagi, jadi ada sekitar 6-7 mata rantai pasar ke tingkat ‎konsumen," ujar Enggar usai berdiskusi dengan Asosiasi Pengusaha Daging, Tangerang, Minggu (7/8/2016).

Sementara untuk distribusi sapi impor lebih pendek. Lanjutnya, dari importir atau feedloter, langsung ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke pedagang, lalu ke konsumen. "Kalau untuk impor mungkin melewati 3,5 mata rantai. Tetap ada pedagang besar atau calonya," katanya.

Enggar lebih jauh menuturkan, banyak peternak terpaksa menyerahkan sapinya ke calo atau blantik karena memerlukan biaya hidup sehari-hari atau kebutuhan sangat mendesak. Sistem yang ditawarkan dengan mengijon (membayar lebih dulu), tentunya dipatok bunga 5 persen‎ sehingga peternak seperti terlilit utang rentenir.

Peternak di daerah, sambungnya, tergoda lantaran bisa mendapatkan dana cepat tanpa perlu pengajuan proposal seperti perbankan, dan takut disita aset berharga lain seperti rumah.

"‎Kalau tidak kepepet, peternak tidak akan menjual sapinya, tapi karena sudah kena bunga tinggi misal pinjam Rp 95 ribu pagi hari, dengan bunga 5 persen, sorenya bisa Rp 100 ribu. Tapi itu dianggap solusi buat mereka karena pinjam ke bank Rp 100 ribu per hari, bagi bank lebih memakan ongkos," jelasnya.

Untuk itu, diakui Enggar,  pemerintah ingin turun tangan memberikan fasilitas pendanaan bagi para peternak lewat lembaga keuangan mikro atau ter-cover Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun kebijakan ini tentu membutuhkan waktu karena tidak bisa instan. "Jadi nanti peternak di daerah tidak usah takut lagi dengan pengijon," ucap dia.

Enggar pun telah berkoordinasi dengan asosiasi pengusaha daging. Usai menerima saran dan kritik, dia meminta agar pengusaha mengajukan atau menyiapkan peta jalan (roadmap) masing-masing untuk membeli bibit sapi dari peternak lokal dan menggemukkannya di feedloter, kemudian dijual.

Langkah ini, sambungnya, merupakan perubahan pola yang selama ini peternak murni seorang diri mengemong sapi dari kecil, membesarkan dan menggemukkannya. Setelah besar, malah terpaksa dijual ke calo karena terdesak kebutuhan hidup.

"Kita ingin stabilisasi harga dengan cara seperti ini, karena mudah sebenarnya untuk menurunkan harga. Gelontorin saja impor daging yang banyak, turun deh harganya. Tapi kan ini justru merusak keseimbangan suplai," terang dia.

Dalam melakukan proses dari hulu sampai hilir ini, Enggar mengaku, perusahaan bisa bekerjasama dengan perusahaan lain dari Australia atau Brazil karena investasi yang dibutuhkan sangat besar dan jangka panjang..

"Mau bikin joint venture dengan perusahaan asing silakan saja tapi dua minggu ke depan, kita akan bertemu lagi di Jakarta untuk membahas roadmap tersebut. Ini memang tidak mudah karena kita mengubah pola biasanya," tutur Enggar.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya