Oleh-Oleh Sri Mulyani dari KTT G20 di China

Menkeu Sri Mulyani menegaskan APBN harus menjadi instrumen optimisme pemerintah, sehingga ia pun yakin ekonomi bisa tumbuh 5,1-5,2 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 08 Sep 2016, 06:35 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2016, 06:35 WIB
20160825- Sri Mulyani Raker Bareng Banggar DPR -Jakarta- Johan Tallo
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengaku tidak gembira dengan pencapaian APBN 2015, termasuk opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015 saat Raker dengan Banggar DPR, Jakarta,Kamis (25/8). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berbagi cerita kepada Komisi XI DPR usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Hangzhou, China pada ‎4-5 September lalu.

Fokus cerita Sri Mulyani mengenai kondisi pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk China yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan global.

Dalam rapat kerja pengambilan keputusan asumsi makro RAPBN 2017, Sri Mulyani memaparkan, forum G20 dibentuk saat krisis keuangan global pada 2009 sebagai reaksi terpuruknya kondisi perekonomian dunia. Dengan G20, harapannya, 80 persen ekonomi dunia bisa kembali bangkit melalui kebijakan yang tepat baik dari sisi moneter, fiskal, dan sektor riil.

"Tapi nadanya sama, hampir semua ‎pimpinan negara kecewa tidak berhasil mengangkat ekonomi dunia. Selama 7 tahun berturut-turut, pertumbuhan ekonomi dunia selalu di bawah 3,5 persen, padahal sebenarnya bisa tumbuh lebih dari itu," jelas dia di Gedung DPR, Jakarta, seperti ditulis Kamis (8/9/2016).

Sri Mulyani menuturkan, Menteri Keuangan China melaporkan China telah mengalokasikan atau mengalihkan 60 persen dari anggaran pemerintah untuk menutup pabrik baja di negara tersebut karena tidak berproduksi akibat lemahnya permintaan.

"Jadi 60 persen alokasi anggaran pemerintah China bukan‎ untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, melainkan menutup pabrik baja dan mengalihkan tenaga kerjanya ke sektor lain. Kondisi ini berimbas ke seluruh dunia," kata dia.

Ia menambahkan, sektor korporasi atau pihak swasta di China enggan melakukan investasi maupun ekspansi.

Sementara masyarakatnya menunda belanja atau konsumsi meskipun memiliki uang. Walhasil, China tidak dapat mengandalkan pertumbuhan konsumsi yang diharapkan dapat menjadi mesin penggerak ekonominya.

Kondisinya di Indonesia, sambung Sri Mulyani, perdagangan internasional masih lemah sehingga kegiatan ekspor dan impor Indonesia masih terkontraksi atau tumbuh negatif. Pemerintah saat ini tidak bisa mengandalkan kinerja ekspor impor .

"Tapi kami melihat konsumsi rumah tangga di Indonesia bisa tumbuh 5,1 persen. Kontribusi dari pengeluaran pemerintah di tahun depan optimistis tumbuh 4,8 persen, PMTB atau investasi tumbuh 6,1 persen karena adanya kepercayaan investor dan aliran modal masuk ke Indonesia dari tax amnesty," tutur dia.

Penopang lainnya, lanjut dia, karena adanya kepercayaan dari masyarakat dan pelaku usaha bahwa pemerintah memiliki APBN yang kredibel dengan target penerimaan yang realistis.

"Pajak tidak membabi buta sehingga masyarakat maupun korporasi dapat merencanakan sesuatu dengan pasti. ‎Jadi masyarakat dan korporasi mau konsumsi atau investasi," jelas Sri Mulyani.

‎Oleh sebab itu, Sri Mulyani masih yakin ekonomi Indonesia di tahun depan tumbuh 5,1 persen-5,2 persen sesuai dengan gambaran ekonomi dunia.

"Jadi kalau diusulkan pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,05 persen‎ itu terlalu hati-hati. Karena APBN harus menjadi instrumen optimisme pemerintah, ekonomi bisa tumbuh 5,1 persen-5,2 persen," ujar dia. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya