Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengungkapkan hingga akhir tahun, defisit anggaran pemerintah diperkirakan akan melebar ke level 0,2 persen. Hal tersebut bisa terjadi karena dana cost recovery diperkirakan jebol dari yang sudah dianggarkan sebesar US$ 8 miliar.
Pelebaran defisit anggaran ini dinilai menimbulkan beberapa risiko bagi Indonesia, terutama untuk menggaet investasi dari para pengusaha asing.
"Karena tambahan defisit tersebut, mau tidak mau pemerintah harus menambah utang. Hal tersebut akan mengurangi reputasi Indonesia di mata investor, itu risikonya," kata pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Advertisement
Baca Juga
Meski risiko utang pemerintah akan membengkak, namun dengan rasio utang pemerintah saat ini hanya sekitar 27 persen, dinilainya masih dalam koridor yang aman.
Tony juga mengungkapkan risiko yang tak kalah penting, dengan melebarnya defisit tersebut adalah kupon obligasi yang diterbitkan pemerintah menjadi lebih mahal.
Meski begitu, Tony menyadari di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini pelebaran defisit anggaran pemerintah memang tidak bisa dihindarkan. Dia mengaku pelebaran 0,2 persen itu masih dalam taraf normal.
"Tapi kalau menurut saya kenaikan 0,2 persen dari 2,5 persen sampai 2,7 persen itu tidak bisa dihindari. Karena kalau kita terlalu ketat APBN kita tidak baik. Artinya tidak ada energi untuk pertumbuhan," papar Toni.
Sebelumnya pada 21 September 2016, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR) Kemenkeu, Robert Pakpahan mengaku telah menghitung potensi tambahan pembiayaan akibat pelebaran defisit menjadi 2,7 persen terhadap PDB.
"Kalau defisit anggaran jadi 2,7 persen dari PDB, maka tambahan pembiayaan mencapai Rp 27 triliun di 2016. Itu dihitung dari perkiraan defisit 2,5 persen di APBN-P 2016," terangnya saat Konferensi Pers di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (21/9/2016).
Pemerintah memperkirakan pelebaran defisit menjadi 2,5 persen dari PDB dengan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 17 triliun di APBN-P 2016. Dengan proyeksi defisit tersebut, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) gross mencapai Rp 628 triliun.
Sedangkan di APBN-P 2016 induk defisit fiskal dipatok pemerintah dan DPR 2,35 persen dari PDB. Dengan demikian, jika defisit lari ke 2,7 persen dari PDB, maka pemerintah akan menambah pembiayaan dari utang senilai Rp 44 triliun. (Yas/Gdn)