Liputan6.com, Jakarta - Energi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 29 ribu Mega Watt (MW). Akan tetapi yang baru dimanfaatkan hanya lima persen atau 1.500 MW. Hal tersebut menandakan pengembangan energi panas bumi lambat karena terbentur berbagai masalah.
"Memang panas bumi potensinya besar. 29 ribu MW baru tercapai 1.500 MW atau 5 persen pemanfatannya. Hal ini banyak kendala, saya kira harus dipecahkan bersama," kata ‎ Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak dalam diskusi Energi Kita, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (6/11/2016).
Yunus mengungkapkan, masalah yang menghambat perkembangan panas bumi Indonesia adalah harga jual listrik dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP). Namun, hal tersebut telah dipecahkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2014 yang menetapkan harga patokan tertinggi pembelian listrik dari PLTP oleh PT PLN (Persero).
Baca Juga
"Pengembang sudah cukup menarik karena didasarkan region, terkait dengan infrastruktur yang ada dan keekonomiannya. Dengan posisi saat ini kita lihat tender tidak hanya Pertamina, tetapi pemain internasional," ungkap Yunus.
Masalah berikutnya adalah pengadaan lahan yang kerap kali berbenturan dengan hutan lindung. Lantaran kebanyakan wilayah kerja panas bumi berada di wilayah hutan lindung. Hal ini membutuhkan percepatan untuk diselesaikan.
Yunus melanjutkan, perkembangan energi panas bumi terbentur dengan keinginan PLN yang membeli listrik sesuai dengan rata-rata biaya pokok produksi listriknya, yang lebih murah dibanding harga produksi listrik dari energi panas bumi.
‎"EBT seperti geothermal punya keekonomian sendiri sesuai keekonomiannya, PLN single buyer base on BPP. Pencampuran energy mix keseluruhan karena dibanding batu bara tidak kompetitif. PLN ketika ingin berbisnis dengan geothermal harga lebih tinggi dari batu bara," ujar dia.
Yunus mengungkapkan, resitensi sosial dan politik juga menjadi penyebab pengembangan panas bumi di Indonesia sampai saat ini baru 5 persen. Lantaran pengetahuan masyarakat masih minim terhadap energi panas bumi menganggap seperti pertambangan, padahal sangat berbeda.
"Resistensi masyarakat ada dua hal masyarakat sendiri kemampuan pengetahuan terhadap geothermal sendiri, selalu menggangap geothermal seperti Lapindo padahal berbeda. Kedua resistensi politik," tutur Yunus. (Pew/Ahm)
Advertisement