Enam Kendala Pengembangan Listrik Panas Bumi

Perbedaan harga listrik dari berbagai pembangkit energi lain sangat mempengaruhi PLN dalam menentukan harga listrik panas bumi.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 24 Okt 2016, 12:19 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2016, 12:19 WIB
20160330- Progres Pembangun PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso-Sulut-Faizal fanani
Suasana pembangunan PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso, Sulut, Rabu (30/3/2016). PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus mengembangkan energi baru terbarukan yang berfokus pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PTLP) masih menghadapi sejumlah kendala sehingga total kapasitas terpasang saat ini masih minim yakni 1.500 megawatt (MW). Padahal, pengembangan PLTP diperlukan untuk menunjang program pemerintah 35 ribu MW.

Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menerangkan, ada 6 tantangan pengembangan PLTP di Indonesia. Pertama, adanya risiko pembiayaan dan investasi untuk proyek panas bumi.

"Biaya di muka tinggi dan waktu yang relatif lama untuk menemukan, mengkonfirmasi, dan mengembangkan sumber daya panas bumi dapat memiliki dampak negatif pada pembiayaan proyek secara keseluruhan. Estimasi biaya eksplorasi panas bumi di Indonesia mencapai 8-9 persen dari total biaya proyek," jelas dia dalam Senior Official Meeting Pembangunan Panas Bumi Indonesia, di DPR Jakarta, Senin (24/10/2016).

Tantangan kedua ialah mengenai mekanisme pengelolaan wilayah kerja panas bumi. Dia menerangkan, pengembang yang ingin mendapatkan suatu wilayah kerja panas bumi mesti mengikuti proses lelang pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Panas Bumi Nomor 21 Tahun 2014. Pengelolaan juga bisa dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.

Lebih lanjut, terdapat masalah di pemilik wilayah kerja yang melakukan kontrak operasi bersama dengan pemilik modal.

"Dikarenakan beberapa dari kontrak tersebut pada akhirnya menimbulkan permasalahan, sehingga wilayah kerja tersebut tidak berjalan sesuai target bahkan banyak wilayah kerja mangkrak sehingga menyia-nyiakan potensi yang ada," tambah dia.

Ketiga tentang harga jual listrik dari panas bumi. Dia menuturkan, penentuan harga jual beli listrik panas bumi sering menimbulkan masalah karena tidak ada titik temu antara PT PLN dan pengembang.

"Kami melihat perbedaan harga listrik dari berbagai pembangkit energi lain sangat mempengaruhi PLN dalam menentukan harga listrik panas bumi. Oleh karena itu kami mendorong percepatan RPP mengenai pemanfaatan tidak langsung yang membuat model feed in tarif dengan rancangan skema fixed prices yang akan diatur melalui Permen ESDM," jelas dia.

Tantangan keempat mengenai pengadaan lahan dan lingkungan. Dia menerangkan, berdasarkan Undang-undang Nomor 2014 kegiatan panas bumi dapat dilakukan di wilayah hutan konservasi melalui pemanfaatan jasa lingkungan. Izin saat ini hanya diberikan untuk selain zona rimba dan inti berdasarkan PP Nomor 108 tahun 2015.

"Melihat sebagian besar potensi panas bumi ada di zona inti, sehingga harus ada standar prosedur untuk usulan perubahan zonasi," kata dia.

Kelima mengenai penelitian dan data sumber daya dan cadangan panas bumi. Agus menuturkan perlunya data-data yang akurat untuk mengkonfirmasi cadangan panas bumi saat ini.

Tantangan terakhir atau keenam ialah koordinasi dengan pemerintah daerah. Dia menuturkan, koordinasi dengan pemerintah daerah perlu dilakukan untuk mengatasi isu sosial.

"Peningkatan dan pemahaman masyarakat melalui sosialisasi baik secara luas maupun kepada masyarakat di sekitar area pengembangan sangat dibutuhkan. Selain itu keterlibatan masyarakat terhadap proyek pembangkit panas bumi dalam bentuk lapangan kerja juga merupakan kewajiban pengembang," tandas dia. (Amd/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya