Liputan6.com, Jakarta - The Islamic State of Iraq and the Levant atau juga sering disebut sebagai the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) kehabisan dana. Kelompok militan yang berbasis di Suriah dan Irak ini mengalami kesulitan finansial.
Ada beberapa alasan yang membuat pundi-pundi uang kelompok tersebut terus mengempis. Alasan utama adalah serangan yang bertubi-tubi dari pihak lawan.
Perang terus berkecamuk di kantong-kantong wilayah yang mereka kuasai. Kantong wilayah dimana di situ tertimpun sumber utama penghasilan mereka yaitu minyak.
Advertisement
Suriah dan Irak dikenal juga sebagai penghasil minyak dunia. Hasil dari sumber daya alam inilah yang juga jadi pemasukan organisasi ini.
Amerika Serikat dan koalisinya terus melakukan serangan udara ke wilayah kekuasaan ISIS, termasuk bisnis minyaknya. Sasaran dari serangan udara tersebut belakangan ini adalah truk pengangkut minyak, depo penyimpanan, kilang mobile dan perlangkapan perminyakan lainnya.
Serangan udara tersebut membuat pemasukan ISIS di sektor minyak berkurang drastis. Menurut Departemen Keuangan AS, di awal 2015 lalu, ISIS bisa meraup US$ 40 juta dalam sebulan hanya dari bisnis minyak. Tapi sekarang, yang didapat ISIS hanya sebagian kecil dari itu.
Tak hanya bisnis minyak yang jadi sasaran serangan. Belakangan ini, serangan juga meratakan gedung di central Mosul, Irak, dan menghancurkan pundi-pundi uang ISIS yang berjumlah jutaan dolar AS di dalam gedung tersebut.
Harga Minyak
Penurunan harga minyak
Keadaan tersebut diperparah dengan penurunan harga minyak yang mencapai separuhnya. Saat ISIS mulai menyebarkan teror, harga minyak masih cukup tinggi. Bahkan pernah mencapai rekor tertinggi. Namun tak lama kemudian harga minyak jatuh.
Di awal 2014, harga minyak masih terus menanjak. Meskipun kenaikan pelan tetapi pasti. Sampai tengah 2014, harga minyak masih berada di kisaran US$ 100 per barel. Sayangnya di tengah tahun karena produksi terus melambung tetapi permintaan menurun, harga minyak anjlok dalam.
Harga minyak terus melorot separuhnya hingga sampai ke angka US$ 50 per barel. Bahkan di awal 2016, harga minyak sempat menyentuh level US$ 36 per barel. Tentu saja penurunan harga minyak ini berpengaruh kepada pendapatan ISIS.
Organisasi tersebut selama ini memang mengandalkan pendapatan dari pasar gelap minyak bumi. Carole Nakhle, pendiri dan Direktur Crystol Energy menjelaskan, ada klien yang tidak konvensional yang mengandalkan minyak ISIS untuk bertahan hidup.
Advertisement
Potong gaji
Gaji yang besar pun dipangkas
Dengan adanya masalah finansial tersebut, ISIS pun mengumumkan rencana mereka untuk memotong gaji anggota dan tentaranya, tak terkecuali legiun asing, karena krisis ekonomi mendera. Kondisi itu diperparah dengan perang yang makin gencar di kantong-kantong wilayah yang mereka kuasai.
Sebuah lembaga nirlaba kemanusiaan, Syrian Observatory for Human Rights melaporkan rencana itu. Lembaga itu beroperasi secara gerilya mendapatkan informasi terbaru dari bawah tanah mengenai ISIS.
"Karena ada hal-hal di luar dugaan yang dialami ISIS, kami dengan berat hati memotong gaji para tentara hingga setengahnya," tulis pernyataan yang diklaim dikeluarkan ISIS.
"Tak ada yang boleh menolak atas keputusan ini siapapun mereka, apapun rankingnya. Namun, distribusi makanan tetap disalurkan dua kali tiap bulannya seperti biasa," lanjut pernyataan itu.
Menurut pemimpin Observatory, Rami Abdel Rahman, pemotongan gaji hingga setengah itu berarti para milisi hanya mendapatkan US$200 per bulan atau sekitar Rp 2,8 juta.
Adapun gaji tentara asing yang dibayar dua kali lipat dari orang Suriah, kini menerima US$ 400 atau Rp 5,6 juta tiap bulannya.