Rumuskan Pajak Tanah, REI Yakin Iklim Investasi Jadi Pertimbangan

Sejauh ini belum ada pernyataan pemerintah mengenai rencana penerapan pajak tanah yang dinilai akan menganggu iklim investasi.

oleh Muhammad Rinaldi diperbarui 13 Feb 2017, 09:35 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2017, 09:35 WIB

Liputan6.com, Jakarta Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) yakin pemerintah akan mempertimbangkan kondisi iklim investasi dan kontribusi pengembang selama ini terhadap pembangunan bangsa dan negara dalam perumusan aturan pajak tanah “mengganggur” yang berlaku progresif.

Asosiasi pengembang tertua di Indonesia itu mengaku belum melihat adanya potensi regulasi tersebut  dapat menganggu pasar properti.

Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata menegaskan sejauh ini belum ada pernyataan pemerintah mengenai rencana penerapan pajak progresif tanah yang dinilai akan menganggu iklim investasi di sektor realestat.

Pihaknya sangat menghargai fungsi pemerintah selaku regulator dan tujuan pemerintah untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Meski begitu, REI berharap pemerintah bisa membuat kriteria yang jelas terkait objek tanah yang dianggap menganggur atau terlantar tersebut.

"REI masih menunggu kriterianya apa. Jadi biarkan pemerintah bekerja dulu dan membuat rincian yang jelas. Lihat saja nanti bagaimana, inikan sesuatu yang belum terjadi. Tetapi sejauh ini kami melihat dan percaya penuh kalau pemerintah akan mempertimbangkan semua kepentingan masyarakat dari banyak sisi termasuk pengembang," ujar Soelaeman atau Eman dalam siaran persnya, Senin (13/2/2017).

Menurut dia, REI belum berkomunikasi dan mengusulkan apapun kepada pemerintah terkait rencana pajak tanah. Namun kalau pemerintah membutuhkan masukan, Eman menegaskan kesiapan organisasi yang dipimpinnya.

Di internal, asosiasi tersebut mengaku sudah melakukan kajian dan pembahasan terkait pajak progresif tanah yang siap untuk disampaikan kepada pemerintah kalau diminta.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) berencana menerapkan pajak progresif tanah yang tidak digunakan secara produktif. Saat ini ketentuan tersebut masih dalam tahap pembahasan dan sinkronisasi peraturan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) Sofyan Djalil menyebutkan tujuan pajak progresif ini adalah untuk menghilangkan spekulan di tanah yang tidak produktif.

Dia juga menegaskan kalau pajak progresif ini akan dikecualikan bagi kawasan industri maupun kawasan perumahan yang lahannya sudah memiliki perencanaan bisnis yang jelas.

Kontribusi Pengembang

Lebih lanjut Eman menambahkan, selama ini pelaku usaha di sektor properti telah memberikan kontribusi nyata bagi negara. Tidak hanya sebagai agen pembangunan, tetapi terbukti juga sudah membuka banyak lapangan kerja dan salah satu penyumbang pajak utama untuk negara.

Eman menyebutkan, pembangunan properti berdampak terhadap bergeraknya 174 usaha turunannya, dari mulai persiapan pembangunan berlangsung hingga pasca pembangunan.

"Saya kira pengembang itu punya fungsi strategis. Kalau agent of development tidak bisa bekerja, maka roda ekonomi juga tidak bisa jalan. Jadi kami dan pemerintah punya tujuan yang sama yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu, REI berharap pemerintah juga mempertimbangkan kontribusi pengembang bagi pembangunan bangsa, ujar Eman.

Di sisi lain, REI berharap pemerintah dan masyarakat dapat membedakan antara pengembang dan spekulan. Menurut Eman, pengembang melihat tanah sebagai bahan baku dasar dari pembangunan, bukan hanya sebatas motif keuntungan semata. 

Pengembang dalam melakukan pembebasan lahan sudah melalui prosedur panjang dari izin lokasi, berdasarkan tata ruang yang diatur pemerintah daerah, memiliki masterplan, kemudian siteplan. Jadi izin lokasinya keluar baru pembebasan lahan dilakukan pengembang.

Kemudian pengembang jelas membangun infrastruktur kawasan. Dimana infrastruktur tersebut bukan hanya dinikmati penghuni perumahan yang dikembangkan, namun seluruh masyarakat dapat mengakses jalan yang dibangun oleh pengembang.

Selain itu pengembang juga mengalokasikan 40 persen lahannya untuk kepentingan publik berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dengan kata lain, pengembang menciptakan proses nilai tambah terhadap lahan yang dimiliki.

Tapi memang kemampuan pengembang membangun itu lebih lambat dibandingkan membebaskan tanahnya. Butuh proses dan tahapan, sehingga tidak bisa sekaligus dibangun seluruhnya. Banyak faktor yang dipertimbangkan, tidak hanya modal tetapi juga kondisi pasarnya, papar Eman.

Itu semua berbeda dengan spekulan seperti yang dimaksud Pemerintah , dimana pembebasan lahan dilakukan tanpa perencanaan pengembangan yang jelas, tidak menyiapkan dan membangun infrastrukturnya, bahkan mungkin tanpa izin.  Spekulan ini menguasai tanah kemudian membiarkan dan menunggu harga naik untuk dijual kembali.

Tidak jarang, sebut Eman, spekulan membeli tanah di areal sekitar proyek pengembang dengan harapan bisa meraup keuntungan dari pengembangan yang dilakukan developer. 

Caranya dengan membeli tanah dari penduduk dengan harga murah untuk nanti dijual kepada pengembang dengah harga tinggi ketika mengetahui tanah itu dibutuhkan pengembang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya