Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan Komisi XI DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang Redenominasi atau pengurangan nol dalam rupiah. Hasilnya, DPR mulai memahami pentingnya redenominasi tersebut.
"Dari FGD kemarin, DPR kelihatannya sudah mendukung bahwa ini (redenominasi) adalah prioritas yang dibutuhkan Indonesia," kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo di Menara Bidakara, Selasa (18/7/2017).
Bank Indonesia memang tengah gencar melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk bisa memasukkan RUU Redenominasi tersebut ke dalam Prolegnas 2017. Sebenarnya RUU ini sudah pernah masuk dalam Prolegnas pada 2013, hanya saja, dalam pembahasannya mengalami penundaan.
Advertisement
Agus menjelaskan, dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, di mana inflasi sangat terkontrol, ekonomi terus tumbuh berkualitas ditambah pergerakan rupiah juga sangat stabil mencerminkan fundamental ekonomi RI, pengesahan RUU Redenominasi menjadi UU Redenominasi sudah cukup cocok.
Baca Juga
Tak hanya bicara dengan DPR RI, Agus mengungkapkan Bank Indonesia juga akan berbicara dengan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan RI untuk kemudian melaporkan mengenai saatnya pembahasan RUU Redenominasi ini ke Presiden RI Joko Widodo.
Pembahasan mengenai RUU Redenominasi ini saat ini dinilai penting, dikarenakan dalam pelaksanaannya nanti, membutuhkan waktu paling singkat tujuh tahun. Dari tujuh tahun tersebut, setidaknya dua tahun awal masuk dalam masa persiapan, baru lima tahun menjadi masa transisi.
"Kami ingin usulkan, di tengah prioritas daripada Undang-Undang yang akan dibahas, RUU ini bisa diusulkan oleh pemerintah dan dibahas bersama DPR di 2017. Kalau ini bisa dibahas di 2017, bisa disetujui, prosesnya akan makan waktu tujuh tahun. Dua tahun adalah persiapan. 2020-2024 adalah masa transisi. Lalu ada tahap phase out," tutup Agus.
Sebelumnya Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengatakan, sebenarnya redenominasi hanya persoalan administrasi yang membuat angka nominal rupiah menjadi lebih ringkas.
"Redenominasi hanya masalah administrasi saja, supaya lebih ringkas. Ini harus dilihat dari ekonomi dan substansinya," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (16/7/2017).
Namun, jika redenominasi ini dilaksanakan pada saat yang tidak tepat, lanjut dia, justru akan memicu kenaikan inflasi. Pasalnya, dengan redenominasi akan terjadi pembulatan harga ke atas pada barang-barang konsumsi masyarakat.
"Kalau redenominasi diterapkan akan ada semacam moral hazard pada pedagang, akan terjadi pembulatan harga ke atas dan ini berdampak pada inflasi. Jadi faktor psikologis yang harus dikontrol oleh BI dan sosialisasi terhadap masyarakat di seluruh Indonesia," kata dia.
Oleh sebab itu menurut Heri, jika redenominasi ini tidak begitu mendesak, akan lebih baik kebijakan ini ditunda dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini juga sambil memastikan ekonomi Indonesia stabil dalam beberapa waktu ke depan.
"Kalau ini tidak terlalu urgent bisa ditunda. Karena kan hanya pemotongan nol di belakang. Ini harus dilihat dampak terhadap ekonomi," tandas dia.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: