Bos Nielsen Buka-bukaan soal Ritel Tutup di Indonesia

Bos Nielsen Prashant Singh menilai, tren global juga menunjukkan ritel dan department store banyak tutup.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 08 Nov 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2017, 19:00 WIB
Marketing Effectiveness Lead, Nielsen Growth Markets Prashant Singh di acara AdAsia 2017, Nusa Dua Convention Center, Bali, Rabu (8/11/2017). (Zulfi/Liputan6.com)
Marketing Effectiveness Lead, Nielsen Growth Markets Prashant Singh di acara AdAsia 2017, Nusa Dua Convention Center, Bali, Rabu (8/11/2017). (Zulfi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Nusa Dua - Tren penutupan toko-toko ritel antara lain Lotus, Seven eleven, Matahari juga Debenhams tak hanya terjadi di Indonesia. Perusahaan riset dan informasi, Nielsen menyebut ini adalah tren global, ritel di luar Indonesia pun mengalami hal yang sama.

Marketing Effectiveness Lead, Nielsen Growth Markets Prashant Singh mengatakan, tren global menunjukkan ritel-ritel global juga department store pun tutup. Prashant mengatakan, tren ini disebabkan oleh proximity retail, saat masyarakat lebih memilih untuk belanja di tempat yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal.

Prashant menjelaskan, ritel besar, supermarket, hypermarket digambarkan seperti kotak yang besar. Barang yang dijual di ritel besar itu pun bisa didapatkan di minimarket yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal masyarakat.

"Supermarket menjadi lebih kecil, dan toko-toko yang dekat dengan lingkungan rumah justru semakin banyak," tutur Prashant di acara AdAsia di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Rabu (8/11/2017).

Prashant mengatakan, masyarakat kini ingin mendapatkan akses yang semakin mudah untuk berbelanja. Dari toko yang semakin dekat dengan tempat tinggal, lanjut Prashant, tren pun bergerak ke belanja online.

"Ini akan berhubungan dengan e-commerce. Ponsel akan menjadi tempat belanja paling nyaman. Jadi ini menurut saya adalah tren global yang sulit dihentikan," tambahnya.

Prashant juga menampik tren tutupnya ritel karena daya beli masyarakat yang menuruun. Ia menilai ini karena teknologi yang semakin berkembang.

"Saya rasa ini adalah kebiasaan natural, konsumen lebih hemat, dan saya tidak punya pandangan bahwa daya beli masyarakat menurun," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Sri Mulyani Waspadai Perlambatan Konsumsi Masyarakat

Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mulai mewaspadai perlambatan konsumsi rumah tangga sebesar 4,93 persen di kuartal III-2017. Dia mengaku terjadi anomali dan pemerintah belum dapat merekam seluruh konsumsi masyarakat‎.

"Konsumsi rumah tangga 4,93 persen, kami lihat secara hati-hati. Di satu sisi inflasi sangat rendah, dan indikasi upah di pertanian, tapi konsumsi tidak meningkat. Ini ada satu anomali dan ini menjadi sesuatu yang perlu dipelajari," tegas Sri M‎ulyani di kantor pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Rabu 8 November 2017.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan menggenjot anggaran bantuan sosial untuk masyarakat miskin sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), berupa Program Keluarga Harapan (PKH) maupun pemanfaatan dana desa guna meningkatkan daya beli masyarakat.

"Presiden instruksikan agar anggaran yang bisa menciptakan kas yang langsung bisa diterima masyarakat, sehingga daya belinya naik, apakah PKH atau melalui dana desa. Ini harus dilakukan dengan desain agar masyarakat bisa langsung menikmatinya dan daya beli bisa meningkat," jelas dia.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku, pemerintah juga memperhatikan pola konsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Data menunjukkan tabungan di atas Rp 2 miliar mengalami kenaikan, begitupun dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan.

"Artinya masyarakat atas yang memiliki daya beli malah menyimpan uangnya di bank. Ini berarti masalah, apakah mereka berubah dari sisi pola konsumsi dan perubahan itu belum terekam dari seluruh konsumsi yang dicatat BPS. Itu kami juga mau pahami," tutur Sri Mulyani.

"Karena bukan masalah daya beli, tapi apakah aktivitasnya karena belum ter-capture atau karena menahan. Apakah karena mungkin ‎masalah konfiden, tapi confidence konsumen tinggi banget, jadi di sini ada yang tidak ketemu, confidence tinggi, daya beli ada, tapi ada yang tidak terekam di sini. Ini kami perhatikan dan bahas," kata dia.

Pemerintah, Ia menuturkan, akan terus memonitor perkembangan daya beli dan konsumsi masyarakat. Namun pemerintah akan tetap berupaya menjaga inflasi serendah mungkin agar inflasi tidak menggerus daya beli masyarakat.

"Daya beli dari pendapatan, berhubungan dengan kesempatan kerja. Kalau menengah bawah, kami gunakan APBN dan APBD semaksimal mungkin, tapi untuk menengah ke atas dan berhubungan dengan lapangan kerja, maka indikator seperti impor bahan baku dan investasi yang meningkat, indikator ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja akan tercipta dan momentum itu kami jaga," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya