Penetapan UMP 4 Provinsi Ini Tak Pakai Formula PP Pengupahan

Keempat provinsi tersebut menggunakan formula dengan penyesuaian Penetapan Komponen Hidup Layak (KHL).

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mar 2018, 17:31 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2018, 17:31 WIB
Ilustrasi UMP Pekerja.
Ilustrasi UMP Pekerja.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2018 naik 8,71 persen. Namun, ternyata ada empat provinsi yang menetapkan UMP 2018 tanpa menggunakan formula dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan. 

Keempat provinsi tersebut menggunakan formula dengan penyesuaian Penetapan Komponen Hidup Layak (KHL).

"Empat provinsi yang menetapkan upah minimum di luar formula PP 78. Secara umum kenaikan lebih tinggi dari kenaikan di PP 78," ujar peneliti ketenagakerjaan, Titik Handayani di Gedung LIPI, Jakarta, Senin (26/3/2018).

Tercatat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan kenaikan UMP sebesar 11,88 persen. Sementara Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) naik 8,85 persen. Kemudian Maluku naik 15,44 persen dan Papua Barat naik 10,14 persen.

Untuk diketahui, pada 2017 tercatat tiga provinsi yang menetapkan UMP di luar formula dalam PP 78/2015, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat (10 persen), Gorontalo (8,27 persen), dan Maluku Utara (17,48 persen).

Jumlah ini jauh lebih kecil dari tahun 2016, di mana 17 provinsi menetapkan UMP tanpa menggunakan formula dalam PP 78/2015.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

 

Tonton Video Pilihan Ini:

Cegah Pelanggaran, Serikat Pekerja Diminta Awasi Penerapan UMP

Peneliti Bidang Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hanawi, mengungkapkan penting peran serikat pekerja dalam pelaksanaan upah minimum di Indonesia. Salah satu alasan penyebab belum efektifnya penerapan upah minimum provinsi (UMP), karena lemahnya "posisi tawar" serikat pekerja sebagai penyuara aspirasi pekerja Indonesia.

"Ini karena lemahnya bargaining power serikat pekerja. Serikat pekerja sering berjuang dalam penetapan upah minimum, tapi dalam konteks pengawasan di tingkat lapangan masih sangat lemah, karena jarang sekali kita dengar serikat pekerja, bekerja untuk mengawasi pelaksanaan upah minimum itu sendiri," ungkapnya dalam diskusi di Gedung LIPI, Jakarta, Senin (26/3/2018).

Hanawi berpendapat, meskipun peraturan terkait upah minimum provinsi sudah ditetapkan, pelaksanaannya masih ada pelanggaran yang terjadi.

"Di Indonesia menarik, ketika upah minimum ditetapkan, tapi ada semacam extension terkait pelaksanaan upah minimum," kata dia.

Karena itu, perlu keterlibatan banyak pihak, terutama serikat pekerja sebagai pengawas pelaksanan aturan terkait UMP. Selain itu, kata Hanawi, kesejahteraan pekerja Indonesia dapat ditingkatkan dengan perbaikan di aspek sosial lain. Jadi tidak hanya ditentukan oleh perbaikan upah minimum semata.

"Kalau menurut hemat saya, PP 78 (pengupahan) harus dibarengi dengan perbaikan aspek lain yang bisa memberikan keuntungan bagi pekerja itu sendiri. Misalnya akses terhadap perumahan, akses terhadap transportasi umum yang lebih murah akses terhadap layanan kesehatan," tandasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya