Industri Petrokimia Perlu Bertahap Masuk Era Digital

Minimnya investasi di sektor petrokimia menjadi alasan industri tersebut segera masuk era industri 4.0.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Apr 2018, 17:11 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2018, 17:11 WIB
(Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)
Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, sektor industri petrokimia, terutama industri hulu tidak bisa dipaksakan untuk sesegera mungkin memasuki era industri 4.0.

Minimnya investasi di sektor petrokimia yang menjadi alasan. Investasi di industri hulu petrokimia dilakukan 15-20 tahun lalu.

"Investasi di petrokimia ini cukup besar dari tahun 95 kita tidak punya industri petrokimia yang kapasitas cukup besar. Jadi hampir 15 tahun lebih kita tidak ada investasi baru di industri petrokimia, sehingga untuk petrokimia yang hulu kesiapannya kita lakukan secara bertahap," ujar dia ketika ditemui, di JCC, Jakarta, Kamis (5/4/2018).

"Karena kalau kita paksakan industri 4.0 di industri hulu yang investasi dari 20 tahun lalu ini sedikit alami hambatan yang bisa merugikan sektor industri petrokimia sendiri. Bisa pada sektor yang risiko kecil, misalnya di packaging," lanjut Sigit.

Meskipun demikian, peralihan industri petrokimia ke era 4.0 dapat dilakukan di bagian hilirnya, yang cukup banyak menyerap investasi baru.

"Tapi kalau hilir dan itu investasi baru, kita dorong untuk lakukan optimasi dan efisiensi melalui pemakaian infrastruktur yang sudah kita sediakan di sektor industri 4.0," ujar dia.

Ia pun mengakui kapasitas produksi industri petrokimia masih sangat minim. Untuk etilen cracker saja, hanya diproduksi oleh PT Chandra Asri Tbk. Kapasitasnya pun hanya 800.000 ton. Padahal kebutuhan dalam negeri sebesar enam juta ton.

 

Selanjutnya

Selama ini, PKT membeli gas seharga US$ 6 dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai guna memasok 5 pabrik produksi pupuk.(Liputan6.com/Abelda Gunawan)
Ilustrasi pabrik pupuk (Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Ini yang menurut Sigit, menyebabkan tidak ada integrasi sektor hulu dan hilir di industri petrokimia. Hal itu menjadi alasan impor di industri Petrokimia menjadi tinggi. Saat ini impor untuk industri petrokimia saja bernilai USD 20 miliar.

"Memang belum terintegrasi. Terpaksa industri hilir memakai intermediate yang diimpor. Ini yang membebani balance of payment kita," kata dia.

Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menggaet investasi di industri petrokimia, antara lain Chandra Asri, Lotte Chemical Titan, dan Siam Cement Group (SCG) yang akan menggarap proyek peningkatan kapasitas industri Petrokimia.

"Diharapkan 2023 sudah ada etilen cracker dari Chandra Asri, kemudian Lotte Chemical dari Korea akan lakukan investasi di etilen cracker sejumlah 1 juta ton. Ada genting oil (Genting Oil Natuna Pte Ltd) dan Huayi (Shanghai Huayi Group) akan kerjakan metanol 1,8 juta di Papua," jelas Sigit.

"Pupuk Indonesia kerja sama dengan Ferrostaal dari Jerman juga akan kerjakan di Papua. Kalau ini bisa kita dapatkan, 2025 bisa mensubsidi seluruh importasi yang sekarang ini nilainya USD 20 miliar," lanjut dia.

Dengan begitu diharapkan pada 2025, jumlah impor industri petrokimia dapat turun berkurang hingga 50 persen.

"Sekarang USD 20 miliar per tahun. At least 50 persen. Karena 2025 tambahan kapasitas kita kira-kira 4 juta ton. Kebutuhan kita saat ini 6 juta ton. 2025 kalau pertumbuhan 5 persen, berarti kurang lebih kebutuhan kita naik manjadi 8 juta sampai 9 juta ton," kata dia.

 

Reporter: Wilfridus S.

Sumber: Merdeka.com

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya