Standard and Poor's Pertahankan Peringkat Utang Indonesia

Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) menegaskan peringkat utang Indonesia di posisi BBB-/A-3 dengan prospek peringkat stabil.

oleh Agustina Melani diperbarui 31 Mei 2018, 19:18 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2018, 19:18 WIB
2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 5 persen belum memadai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) menegaskan peringkat utang Indonesia atau sovereign credit Indonesia di posisi BBB-/A-3 atau layak investasi dengan prospek peringkat stabil.

Peringkat utang tersebut didukung dari pulihnya harga komoditas. Ditambah pembangunan infrastruktur yang masif mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dalam tiga hingga empat tahun mendatang.

"Hasilnya peningkatan anggaran dan penerimaan ekspor dapat menjaga fiskal dan eksternal tetap stabil meski pengeluaran investasi tetap kuat,” tulis S&P.

Mengutip keterangan S&P, seperti ditulis Kamis (31/5/2018), lembaga pemeringkat internasional itu melihat prospek peringkat Indonesia stabil didukung dari kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi dalam satu hingga dua tahun ke depan.

"Kami dapat menaikkan rating dalam jangka panjang jika eksternal dan kondisi fiskal dapat catatkan performa signifikan bahkan di atas harapan kami," seperti dikutip dari keterangan S&P.

Sebaliknya jika terdapat tekanan maka peringkat dapat turun jika fiskal dan neraca perdagangan selama satu tahun hingga dua tahun ke depan dapat menjadi lebih buruk. Indikasi tekanan pada peringkat  jika utang pemerintah dan defisit anggaran yang masing-masing melebihi 30 persen dan tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Peringkat utang Indonesia tetap tersebut juga didukung dari tingkat utang pemerintah Indonesia relatif rendah dan kinerja fiskal yang moderat. Faktor-faktor tersebut menyeimbangkan risiko Indonesia terutama masyarakat Indonesia berpenghasilan menengah bawah dan neraca pembayaran yang tipis.

S&P mengharapkan defisit fiskal Indonesia tetap di bawah 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit fiskal itu tetap di bawah 2,5 persen meski ada subsidi. Selain itu, Indonesia telah memperketat kebijakan moneter untuk mengantisipasi volatilitas keuangan dari global. S&P juga melihat risiko Indonesia kecil terhadap penurunan pembiayaan eksternal.

 

Moody's Naikkan Peringkat Utang Indonesia

Moody's Investors Service
Moody's Investors Service (AP Photo/Mark Lennihan)

Sebelumnya, lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service menaikkan peringkat (rating) utang  atau kredit Indonesia dari sebelumnya Baa3 dengan outlook positif menjadi menjadi Baa2 dengan outlook stabil.

Mengutip laporan Moody’s, Jumat 13 April 2018, peningkatan rating menjadi Baa2 didukung kerangka kebijakan yang semakin kredibel dan efektif yang kondusif bagi stabilitas makroekonomi Indonesia.

“Bersama dengan peningkatan penyangga keuangan, kebijakan fiskal dan moneter yang bijaksana, memperkuat keyakinan Moodys bahwa ketahanan dan kapasitas Indonesia untuk merespons guncangan. Akibatnya, utang Indonesia lebih sebanding dengan negara dengan tingkat Baa2,” mengutip penjelasan Analyst Sovereign Risk Group of Moody's Investors Service, Anushka Shah.

Laporan tersebut menekankan jika kebijakan yang efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi makro meningkatkan ketahanan Indonesia terhadap guncangan. Sebab itu, Indonesia diharapkan fokus pada kebijakan fiskal dan moneter yang menjaga makroekonomi stabilitas dan membangun penyangga keuangan yang semakin jelas dalam beberapa tahun.

"Kebijakan dan cadangan keuangan yang lebih besar memperkuat kapasitas Indonesia untuk menanggapi guncangan," jelas dia.

Di sisi fiskal, Moody's menyebutkan jika pemerintah telah mempertahankan kepatuhan yang ketat terhadap batas defisit anggaran 3 persen, sejak 2003. Namun Moody tetap mengharapkan Indonesia fokus pada kehati-hatian fiskal dan berkontribusi terhadap stabilitas makroekonomi.

"Defisit rendah yang berkelanjutan menjaga beban utang tetap rendah dan, dikombinasikan dengan pendanaan denban jangka waktu yang panjang, mengurangi kebutuhan pembiayaan dan risiko," dia menambahkan.

Meski demikian, pendapatan negara yang lemah tetap disoroti Moody’s sebagai kendala kredit jangka panjang, termasuk kemungkinan mengikis kemampuan utang. 

Perkiraan Moody's bahwa utang pemerintah Indonesia akan berkisar 30 persen dari PDB dalam beberapa tahun ke depan, di bawah rata-rata 39 persen dari PDB untuk semua investasi dan 46,2 persen untuk median Baa-rated.

Laporan juga menyebutkan tentang risiko utang BUMN yang cenderung meningkat terkait pelaksanaan proyek infrastruktur, tetapi tidak menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kondisi fiskal Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. 

Terkait kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI), dinilai telah menetapkan rekam jejak yang memprioritaskan stabilitas ekonomi makro dengan mempromosikan pertumbuhan jangka pendek.

Target inflasi telah terpenuhi selama tiga tahun berturut-turut dan ekspektasi inflasi telah terbukti berlabuh di level sedang saat inflasi pokok meningkat tajam sebagai hasil dari reformasi subsidi pada tahun 2014.

Selain itu, penguatan posisi eksternal Indonesia dan peningkatan cadangan penyangga juga meningkatkan ketahanan negara terhadap guncangan potensial. Sementara beberapa percepatan ekspor pada tahun lalu dicatat seiring kenaikan permintaan global dan pemulihan harga komoditas, perbaikan struktural. Ini juga termasuk beberapa diversifikasi basis ekspor jauh dari komoditas menuju manufaktur yang berperan dalam mempersempit defisit transaksi berjalan.

Sebagai akibat dari defisit transaksi berjalan yang semakin menyempit dan arus masuk investasi yang kuat, cadangan devisa meningkat hingga USD 119 miliar pada akhir Maret (sementara cadangan internasional bruto meningkat menjadi USD 126 miliar). Ini merupakan tingkat yang konsisten dengan ukuran kecukupan cadangan.

Namun, Moody turut mengungkap indikator kerentanan eksternal Indonesia, dengan mengukur rasio utang jangka panjang yang jatuh tempo tahun depan dan utang jangka pendek terhadap stok cadangan, adalah 51,3 persen untuk 2018. Ini menunjukkan cadangan yang cukup dan kerentanan eksternal yang terbatas.

Fokus kebijakan yang kredibel pada kebijakan makroekonomi yang didukung penyangga keuangan yang substansial dikatakan mengurangi risiko adepresiasi mata uang yang tajam dan berkelanjutan.

"Kerangka kebijakan dan penyangga keuangan melengkapi kondisi ekonomi Indonesia yang besar, kuat dan stabil. Pertumbuhan PDB sekitar 5,0-5,3 persen dan sistem perbankan yang sehat dalam mendorong kapasitas negara untuk menyerapguncangan ekonomi atau keuangan," dia menandaskan.

 

 Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya