Alasan Indonesia Masih Layak Terima Fasilitas GSP dari Amerika

Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan AS agar GSP untuk produk Indonesia tetap ada.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jul 2018, 18:10 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2018, 18:10 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Aktivitas bongkar muat barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai masih membutuhkan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) dalam melakukan perdagangan internasional.

"Saya kurang setuju kalau dikatakan Indonesia sudah anggota G20 lantas hilang haknya (mendapatkan GSP). Tidak juga. Kita masih kategori negara berkembang yang bisa mendapatkan fasilitas GSP, entah dari Eropa, AS, Jepang, atau yg lainnya," ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo di Jakarta, Jumat (20/7/2018).

Dia menjelaskan pemberian GSP memang merupakan hak mutlak dari suatu negara. Fasilitas tersebut diberikan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi negara penerima fasilitas itu.

"Ada kriteria di GSP, country eligibility, di mana parameternya bisa macam-macam, human rights, labor rights, IPR (Intellectual Property Rights)," jelas dia.

"Juga ada kriteria yang dia terapkan yaitu competitive need limitations (CNL). Jadi untuk produk-produk yang sudah melampaui CNL itu akan digraduasi dari cakupan fasilitas GSP. Jadi ada hitung-hitungannya sendiri," imbuh dia.

Menurut dia, rencana pencabutan GSP oleh AS, sebenarnya dapat dimengerti. Sebab dalam pandangan AS, Indonesia sedang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan GSP.

"Tidak hanya kepada Indonesia, tapi juga India dan Kazakhstan, karena mereka melihat kok tampaknya beberapa parameter yang dia terapkan untuk memberikan fasilitas GSP ke negara-negara ini tidak terpenuhi," kata dia.

"Indonesia market shares-nya sudah semakin baik dan tidak ada pesaing yang bisa mendekati, dan tidak ada produk domestik serupa di AS, ya dia akan di-graduate dari GSP," lanjut Iman.

Meskipun GSP adalah hak mutlak negara pemberi, Pemerintah Indonesia tentu tetap mengharapkan mendapatkan fasilitas tersebut untuk mendukung kinerja perdagangannya luar negeri.

Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan AS agar GSP untuk produk Indonesia tetap ada. Indonesia memiliki pengalaman dalam bernegosiasi agar produk yang sudah terkena pencabutan GSP, kembali memperoleh fasilitas itu.

"Produk auto-wiring set dikeluarkan dari GSP pada 2013 atau 2014 kalau tidak salah, karena Indonesia market share-nya dianggap sudah kompetitif untuk bersaing di AS vis-a-vis supplier negara lain," ujarnya.

"Tapi 2014 kita minta untuk dikecualikan dari perhitungan CNL karena alasan kita, kemajuan teknologi membuat produk seperti ini cepat berganti nilai competitiveness-nya. Jadi seingat saya 2015 sudah dimasukkan lagi. Jadi itu memang bisa dilakukan redesignation of products," dia menandaskan.

Reporter: Wilfridus Setu Umbu

Sumber: Merdeka.com

Kemendag Sebut Asosiasi Farmasi AS Sering Lobi Cabut GSP RI

Kinerja ekspor impor.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan kalau asosiasi farmasi Amerika Serikat (AS) kerap melobi pemerintah AS untuk cabut fasilitas GSP (Generalized System of Preference) untuk produk farmasi Indonesia. Hal ini karena Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia dianggap masih lemah.

Oleh karena itu, Dirjen Perundingan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo mengatakan pencabutan GSP seperti adalah hal yang biasa. Hal tersebut dilakukan jika suatu negara dirasa tidak lagi memenuhi syarat untuk menerima GSP.

"Contohnya yang sudah lama adalah penegakan HAKI di Indonesia. Dan itu lobi IPR (Intellectual Property Rights/Hak kekayaan intelektual) di AS sangat kuat, termasuk dari sektor farmasi," ujar dia ketika ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (20/7/2018).

"Usulan dari asosiasi pharmaceutical products di AS supaya AS terminate GSP facility kepada Indonesia, itu tiap tahun," tambah dia.

Pencabutan GSP untuk produk farmasi Indonesia dianggap layak karena isu penegakan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) di Indonesia dianggap masih lemah.

"Dan ini menurut saya proses yang normal ya bahwa negara-negara itu secara spesifik akan disorot seberapa jauh bisa memenuhi parameter yang mereka bikin sendiri," tutur dia.

Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag), kata Iman, tentu akan terus berupaya agar berbagai fasilitas GSP yang sudah diberikan tidak dicabut.

GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak yang umumnya dimilik negara maju.

Hal ini untuk membantu ekonomi negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi dan penerima.Adapun negara pemilik program GSP dapat bebas tentukan negara mana dan produk apa saja yang akan diberkan pemotongan bea masuk impor.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya